Himpunan Puisi ini berisi 76 puisi, dan mencapai 92 Halaman. Proses penerbitan buku ini sebetulnya sudah berlangsung cukup lama, sekitar bulan Agustus 2011, kemudian prosesnya tersendat-sendat karena yang kupasrahi untuk mengurusnya secara beruntun mengalami keadaan yang tidak diharapkan. oleh karenanya, puisi-puisi yang ada di dalamnya berulang kali ganti-pasang secara berkala, hingga seminggu sebelum proses penerbitan buku ini selesai baru kutetapkan jumlah puisi yang ikut-serta mengisi daftar isinya.
Aku tidak nyana kalau pada akhirnya buku ini berhasil di eksekusi untuk diterbitkan, sebab sepanjang itu aku tidak terlalu serius untuk menerbitkannya, keadaanku yang pada waktu itu di Pesantren menyebabkan komunikasiku dengan orang yang kupasrahi tidak berjalan lancar. Apalagi pada waktu di Pare, secara otomatis proses buku ini mandeg secara total. Pertama, karena aku terlalu sibuk kursus. Kedua, saat itu kebetulan aku menjadi pemegang kendali untuk Antologi Puisi Lintas Pesantren Jadzab.
Begitu aku sudah pulang dari Pare, aku masih belum punya semangat untuk menerbitkanya, ya, buku ini terbit karena pada mulanya dipaksa-paksa oleh beberapa sahabatku, atas dasar itulah lalu aku mau melangkah lebih lanjut, berangkat dari situ aku bertekad untuk menerbitkan secara Indie, lagi-lagi karena ketidak-sanggupanku untuk membiayai penerbitan di penerbit yang sudah punya nama dan sudah punya distributor yang mumpuni, akhirnya aku cetak di percetakan milik Ibu sendiri.
Setelah melobi Ibu untuk mencetak buku dalam jumlah 700 Eks tanpa mengeluarkan dana, aku mulai merancang desaign, lay-out, dan editing, mereka yang menggara buku ini kesemuannya adalah Santri, tentunya, aku tanpa memberinya gaji. di tengah proses itu berjalan, aku mulai memikirkan cara penjualannya, jujur saja bahwa saat itu aku berpikiran kalau uang hasil penjualannya nanti akan kuberikan kepada mereka yang ikut terlibat dalam menerbitkan buku ini
Sejarahnya, bahwa isi dari sebagian besar Qutub Cinta ini berkisah tentang perempaun Pare, lagi-lagi seorang Pare membuatku selalu ingin membuktikan bahwa dengan terbitnya buku ini, minimal dia akan paham betapa dalamnya aku berharap. Sejauh itu aku jadi punya asumsi kalau puisi-puisiku lahir dari ingatanku tentangnya, pendek kata, buku itu terbit.
Aku mulai mencari tautan untuk menjualnya, dari mulai lewat Facebook, mengirim beberapa naskah ke toko buku di demak dan sekitarnya. Enam bulan persis sebelum aku berangkat ke Mesir, buku ini terbit lengkap dengan ISBN-nya. Tidak sebagaimana buku yang kuterbitkan sebelum ini, bahwa penjualan dari buku ini dalam rentang waktu 3 bulan sudah mencapai angka 450 Eks. Karena tanggal pemberangkatanku kian dekat, akhirnya ada sekitar 100 Eks yang kukirimkan kepada sahabat-sahabatku sebagai kenang-kenangan
Bahwa aku tidak terlalu mengharap lebih pada Royalti, sebab memang penerbitannya saja gratis, yang kuharapkan dari buku ini hanya agar seorang Pare itu tahu bagaimana caraku mencintainya, supaya seorang Pare jadi mengerti maksud dari mengapa aku menerbitkan buku ini, sesederhana itu sebetulnya. Sejarah mencatat kalau pertemuanku dengan seorang pare dalam waktu yang teramat singkat itu di hari berikutnya bisa membuat seorang Usman Arrumy rela berdarah-darah untuk membuktikan keseriusannya.
Dalam dunia kewalian istilah Qutub adalah derajat tertinggi dari seorang wali, dengan pegertian bahwa Qutub adalah identitas wali yang tingkatannya sudah mencapai puncak, gampangnya adalah Presidennya Wali. Jadi yang kumaksud Qutub dalam judul cover itu bukan Qutub dalam bentuk tempat (Baca: Kutub Utara, Kutub Barat). Maka jika ditautkan dengan Cinta dalam satu kalimat akan menjadi konklusi bahwa Qutub Cinta adalah puncak dari pencapaian cinta.
Maka dengan itu, ketika Cinta sudah mencapai maqom eksesif sublimitas dalam pengertian yang sesungguhnya, ia tak hendak melulu berteori, masalahnya Cinta, secara empiris, lebih gampang dirasakan ketimbang dijelaskan. Dan Qutub Cinta ini adalah implikasi dari perwujudan cintaku pada seorang Pare. Meski mungkin kadang harus mengakui kalau seumpama Buku ini dijadikan pembuktian, belum terlampau cukup dibanding dengan pembuktian orang yang juga mencintai seorang Pare.
Bahwa seorang Pare mengisi penuh ruang yang ada di dalam tubuh, sampai saat ini pun, ketika sudah setahun lebih aku mengenalnya, aku belum bisa membuka diri untuk di masuki oleh yang selainnya, sementara itu, seorang pare yang menjadikanku sampai begini, tak akan pernah paham mengapa aku rela melakukan semua ini. Itu sebabnya, banyak teman yang heran sikapku tersebut. Aku mencintainya dan sesungguhnya aku mencintainya tanpa mengharap seorang pare memantulkan kembali cintaku.
Pada akhirnya, sisa dari penerbitan Qutub Cinta itu kuberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang serius ingin tahu seberapa dalam perasaanku terhadap seorang Pare. Ya, aku memberikannya agar mereka juga ikut merasakan betapa ringkihnya aku tanpa Aziezah.
Bawabah, 3 Mey 2013.
0 komentar