Membaca Ayat-Ayat Lepas
Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci. Puisi yang diantologikan ini, semula adalah ayat-ayat lepas, namun dirangkai dalam sebuah “wadah emas”. Ayat-ayat itu akan mengingatkan detak hidup manusia yang kadang-kadang serakah, kosong, zina, dan bercanda tanpa makna. Puisi-puisi antologi ini mungkin akan menjadi seberkas jawaban ketika kita ragu mengarungi bentangan hidup.
Puisi itu lagu kejiwaan. Jiwa manusia, seperti perahu yang mengarungi lautan. Lautan tanpa batas. Lautan penuh ombak, penuh karang. Puisi menjadi wahana ekspresi melewati bebatuan, membelah ombak, dan menantang badai-badai kehidupan.
Ketika pagi sunyi, saya baca puisi karya 17 penyair khas (pesantren). Sepertinya setelah saya pulang dari masjid Ar-Ridla di kampung saya (Ngrukem, Bantul), ada percikan ridla dari Sang Khaliq. Sebuah ridla yang sulit saya untai dengan kata. Dari sebuah puisi berjudul Titik karya Usman Arrumy hingga puisi berjudul senyum Soreku karya Awy’A Qolawun, nyata bahwa kata itu tajam. Kata itu begitu indah, lebih indah dari warna aslinya.
Judul antologi ini “Jadzab”, sungguh sebuah pilihan yang menjadi ruh puisi-puisi yang lain. Hidup ini barangkali memang sedang menjadi jadzab. Entah sampai kapanpun, manusia diliputi jadzab. Manusia seakan tersihir oleh dunia, hingga lupa pada jadzab. Kalau jadzab itu seorang sufi, mungkin sudah di atas Sunan kalijaga. Yang paling penting, melalui puisi yang termuat dalam antologi ini, mudah-mudahan pembaca dapat melihat jadzab ini secara proporsional. Hidup ini tidak sekedar permainan tanpa akhir, itulah kira-kira.
Saya tidak menduga, kalau para santriwan lan santriwati ternyata juga piawai merangkai titik menjadi kata, kata melebur jadi garis, garis menjadi takdir, takdir terurai lewat keindahan bahasa. Sungguh sulit kalau saya harus cermati satu persatu. Namun, dari pembacaan saya dengan santai, dapat sayapetik harapan bahwa semua penyair ini memang memiliki bakat. Mereka memiliki intelektualitas dan religiusitas tingkat tinggi.
Puisi itu mulai mengingatkan saya. Di kampung saya ada dua pondok pesantren,Al-Anwar dan An-Nur, yang setiap detik para santri menghiasi jalan di depan rumah saya, seperti tidak pernah tidur. Saya juga pernah diminta mengajari bagaimana menulis puisi pada para santri di Pondok pesantren Hidayatul Mubtadi’in Tajeman Palbapang Bantul. Di sana juga pernah saya ajari bagaimana berpidato. Ternyata dari bacaan saya terhadap puisi ini, seperti mengetuk pintu hati saya, bahwa hidup di pesantren itu juga indah dan boleh mengenal seni.
Saya memandang bahwa puisi yang tersaji di sini, ada berbagai versi, antara lain (1) berupa mimpi, puisi itu sebuah mimpi dan harapan, lahirnya karya-karya “seandainya”, “bila”, “mungkin”, dan seterusnya; (2) sebuah kerinduanpada Sang Pencipta. Lewat penangkapan ide alam, dunia sekitar, penyair dapat melantunkan karyanya; (3) sebuah memori, yaitu catatan perjalanan baik fisik maupun metafisik, yang penuh dengan rona dan wajah kegaiban; (4) sebuah kritik terhadap diri sendiri (auto-critic) dan kritik fenomena di luar dirinya yang terasa aneh; (5) sebuah pencarian jati diri, yang selama hidupnya masih ragu dan tersamar.
Puisi itu sebuah prisma kehidupan. Karena itu, pembaca dapat masuk dari berbagai segi dan arah. Yang jelas, membaca puisi pesantren ini, sekurang-kurangnya akan dapat dipetik percikan renungan hidup, yaitu: (1) hidup manusia itu penuh tantangan, penuh godaan, (2) hidup ini sudah ada yang mengatur, lewat ayat-ayat indah, manusia memang harus memilih jalan hidup masih-masing.
Lebih tegas lagi, puisi-puisi yang tersaji ini memang dekat dengan sebuah pencarian “cahaya surgawi”. Puisi muhasabah,dzikir, dusta, sujud dan takbir adalah potret upaya penyair menemukan “ada yang tiada”. Sentuhan rohani memang terasa pada puisi 17 penyair ini. Entah kebetulan atau memang disengaja, yang jelas bilangan 17 memang memiliki “ruh kuat” dalam pesantren. Berbagai peristiwa besar dan aneka kejadian yang membahagiakan, tampaknya terkait dengan angka 17.
Nama-nama penyair saya lihat juga ada yang telah melukiskan sebuah kekuatan estetika, seperti penyair Sekai Aish, Mawar Merah, sepertinya nama ini sebuah samaran. Cara pembuatan nama pena memang cukup menggelitik. Karya-karya yang mereka muntahkan pun cukup berbobot sastra. Hampir semua puisi menjadi nyanyian jiwa yang dikemas panjang-panjang. Tarian jiwa mereka ulur hingga banyak kata, tetapi kaya makna.
Memang ada pendapat, puisi itu sebuah ide yang dipadatkan. Dengan miskin kata, tetapi kaya makna. Dalam puisi-puisi pesantren ini, jarang saya temukan puisi yang hanya satu dua baris. Mereka umumnya sedang ingin bersuara, berdendang. Itulah yang dapat saya simak. Tentu saya berharap puisi ini segera diterbitkan, diadakan tegur sapa, diskusi, dan penjelajahan makna, agar terjadi kontak budaya. Ingat, bahwa guru seorang penyair, adalah penyair itu sendiri. Semakin banyak penyair membaca, berdiskusi, bertegur sapa, dan silaturahmi sastra, saya kira akan semakin dewasa.
Puisi, dengan sendirinya aakan mendewasakan orang berpikir. Puuisi akan memperdalam iman. Puisi yang bagus akan menguatkan rasa eling (ingat), agar manusia tidak lagi kaya dengan jiwa hewani. Itulah puisi yang benar-benar memiliki efikasi bagi pembacanya. Puisi yang sekedar ereksi diri, memang kurang begitu banyak manfaat, kecuali bagi penyair itu sendiri.
Dua bulan yang lalu, saya mendapat kiriman antologi puisi santri Jombang. Komunitas itu meminta saya memberikan pengantar karya-karya mereka. Dengan tangan terbuka, saya pun mengiyakan, bahwa pesantren sesungguhnya sawah ladang orang kreatif. Pesantren penuh dengan estetika kelembutan. Mudah-mudahan segera lahir K.H.Musthofa Bisri selanjutnya, yang kaya puisi religi sekaligus kiyai. Teman saya Zawawi Imron dari Madura pun hampir setiap pertemuan, sering bercanda tentang puisinya yang meneguhkan dunia pesantren.
Akhirnya, saya berharap dengan puisi ini, semoga kita semakin tahu tentang diri kita. Dengan bekal membaca puisi, apapun bentuknya, sebenarnya kiita telah atau sedang membaca “ayat-ayat” kehidupan. Mari kita selami bersama-sama, semoga kita semakin manusiawi, semakin religius dan kelak masuk surga. Amin.
Yogyakarta, 21 januari 2012
Padepokan Ngumbar Hawa Ngrukem
Dr.Suwardi Endraswara, M.Hum