Begitu bangun dari tidur, dengan pikiran yang masih belum sepenuhnya sadar, kulihat melalui mata setengah terbuka, hape putih yang terbaring sekitar satu meter dari posisiku, ada cahaya berkelip disana, tanda kalau ada Sms atau panggilan tak terjawab. Pelahan tanganku menjulur menggapainya, hatiku berdesiran mendapati sms dari Mas Wem, kakak pertamaku, sebab baru kali ini dia mengirim pesan ke nomor Mesir. Aku mencoba membangkitkan kesadaranku secara purna, aku berpikir bahwa ini pasti ada kabar dari rumah yang tidak biasa, kubaca pelan, kuulangi lagi, sampai entah sudah berapa kali dengan bibir tergetar kubaca smsnya, sebaris kalimat tak terduga; ''Dek, tukang cukurmu, Selamet kenduren, uwis tilar dunyo mau awan''.
Semenjak lulus MI, pada tahun 2001, saat aku berusia 11, Selamet itulah yang mencukur rambutku, sampai malam sesaat sebelum aku akhirnya berangkat ke Mesir, ya, sekitar 11 tahun rambutku di cukur olehnya dengan beragam gaya, biasanya, aku mengikuti model pemain bola yang kusenangi pada waktu tertentu, dari mulai model rambutnya David Beckham yang ala Mowhak itu, pernah akut gaya rambutnya Bastian Schwensteiger pemain Jerman, Rambutnya Christiano Ronaldo pada tahun 2007 saat di MU, sampai model rambutnya Neymar yang akhirnya Selamet di Dukani bapak karena dianggap seperti rambutnya bajingan.
Sehabis cukur, aku pamerkan ke teman-teman dengan cara tidak membawa peci, di jalan lingkar, di warung kopi, di terminal, di alon-alon, di sunan kalijogo, dan di masjid. Mereka semua setiap melihat potongan rambut baruku selalu menganggap bahwa aku cukur di Salon yang harganya sekisaran 100 rb. Mereka selalu tidak percaya ketika kutunjukkan bahwa Selametlah yang mencukurnya, bahwa memang Selamet yang mencukur rambutku selama 11 tahun.
Met, selamet. Semalam sebelum
aku berangkat ke Mesir, tanganmu menggamit gunting untuk mencukur rambutku,
''cukur ala bajingan Ekuador, Met'', pintaku kepadamu, dan kulihat kau hanya
senyum sambil menganggukkan kepala. Kau tahu, Met. aku tidak mau cukur kalau
tidak kau yang mencukur, bahkan bapak pernah berujar kepadamu untuk membikinkan
''salon'' untukmu. Kau pasti masih ingat ketika bapak memarahimu lantaran
mencukur rambutku yang ala Neymar, kau masih ingat bukan? Sewaktu aku dipondok,
berbulan-bulan lamanya aku tidak cukur karena memang aku enggan dicukur
selainmu.Padahal jarak rumahmu dan pondok begitu jauh, butuh perjalanan satu jam untuk sampai ke Jogoloyo, tapi begitu kutelfon
kau langsung berangkat, hanya ingin mencukurku, meskipun dini hari sekalipun!
Hari ini, aku terkenang betapa malam itu, ternyata adalah kali terakhir kau mencukur
rambutku.
Met, selamet. Semalam sebelum
aku berangkat ke Mesir, sesaat sehabis kau mencukur rambutku, aku masih tak
mengizinkanmu pulang, karena mungkin di antara kau dan aku akan berpisah dengan
masa yang lama. Malam itu, akhirnya kau merelakan waktumu untuk ngopi denganku,
di Angkruk belakang rumah. dengan lampu kuning keemasan bertenaga 5 waat itu, oh ya, juga sama adikmu yang bernama Azro'i itu, ngobrol tentang masa kecil, tentang
kejadian-kejadian konyol semasih bocah, aku ingat bahwa kau pernah
memboncengkan aku dengan sepeda jenky di pasar untuk membeli Bola. Aku ingat bahwa
peci hitammu pernah kulemparkan ke selokan karena jengkel, aku ingat bahwa aku
pernah memintamu menemaniku tidur di serambi masjid, Aku ingat bahwa aku pernah
mengajakmu ke alon-alon untuk menemaniku makan Mie Tek-tek, Aku ingat bahwa aku
pernah memintamu untuk memijiti tubuhku, Aku bahkan ingat bahwa aku pernah
menjotos kepalamu lantaran kau salah mengoper bola.
Aku jadi ingat, Met. kau dulu
jadi sekertarisnya Bapak untuk menulis Tafsir Jalalain setiap sehabis subuh,
bukan? Kau dulu jadi ketua Dekorasi setiap menjelang Haul, Bukan? kau dulu jadi
guru olah raga di SMP, Bukan? Aku masih belum percaya, Met. kalau hari ini kau
meninggalkan dunia seisinya. Rasanya baru kemaren, senyummu yang bersahaja
masih kulihat.
Met, selamet. malam ini adalah
kali pertama kauhuni ruang yang asing bagimu. malam ini adalah kali pertama
kaupindah alam, malam ini adalah kali pertama sekaligus terakhir tubuhmu
merasakan mengendarai keranda menuju rumah barumu. Kematian yang membuat namamu
kini terpahat di nisan adalah bukti nyata bahwa kematian selalu datang tak
terduga. Semoga malam ini menjadi malam zafafmu, bukan duka. tapi menjadi malam
pertama kau memulai kehidupan yang sesungguhnya. Kau pasti pernah tahu kalimat
ini; bahwa apapun yang bernyawa pasti akan mati, seperti kau kini, Met.
Met, selamet. ketika Malaikat
datang untuk mencabut nyawamu, kau ditanya bagaimana? Atau ketika tubuhmu sudah
terbalut dengan kain kafan, Masihkah kaudengar ratapan keluargamu karena kau
tinggalkan? Atau ketika kau disolati apa yang kaurasakan? Atau ketika jasadmu
diiring menuju pemakaman, apa yang kaufikirkan? Atau ketika kini kau sudah
semayam di dalam makam, siapa temanmu? Jika tak ada siapapun yang menemani,
semoga pekerjaanmu mencukur rambutku menjadi amal yang berpendar, yang nyalanya
menerangi makammu.
Met, selamet. Selamat jalan.
kau disana yang baik-baik saja ya, Met? Aku mendoakan bahwa kelak, kau
dikumpulkan dengan Mbah Tamyiz, sehingga aku bisa mendapatimu kembali, meski
tidak sebagai tukang cukurku lagi. tapi sebagai sahabat sejati. Aku kangen Sliramu, Met.
Kairo,
9 Maret 2013.
0 komentar