Saya lupa, entah bulan dan tahun berapa saya ngebet pengin beli KBBI---Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang masih saya ingat adalah keprihatinan saya ketika menabung dengan cara menyisihkan uang jajan yang dikirim rumah-- sewaktu di Pesantren dulu, untuk membelinya. Saya juga lupa berapa persisnya harga kamus itu, yang sampai saat ini saya gagal lupa adalah kembalian dari pembelian kamus itu hanya bisa dibelikan dua batang rokok sukun kretek.
Berangkat dari hobi membaca, saya tahu betapa minimnya kosa-kata yang saya kuasai. Waktu itu saya berfikir jika mempunyai kamus tentu akan memudahkan saya untuk memahami setiap kalimatnya, tapi uang dari mana? Sadar bahwa kiriman dari rumah ngepres, akhirnya saya pinjam seorang teman sebuah kamus berjudul Kamus Lengkap Bahasa Indonesia---susunan Ananda Santoso dan A. R. AL Hanif, hanya setebal 478 Hal, tentu tak selengkap KBBI yang mempunyai 1385 halaman itu.
Kedepannya, teman saya itu boyong dari pondok, kamusnya pun ikut diboyong. Sejak saat itu kegelisahanku mulai menampakan kesungguhan, rasanya tak nyaman membaca tanpa dikawal kamus, saya tahu kalau tanpa kamus pun sebenarnya dapat dipaham dengan memakai insting sebagai dasarnya, tapi saya tak puas.
Setiap Jum'at, santri yang mukim diperbolehkan untuk keluar, saat-saat itulah saya meratapi nasib memandangi KBBI di toko buku Al-Barokah pojok Kawedanan, saya mengulangi ratapan setiap kali jumpa KBBI dipajang di rak buku. Hingga pada saatnya, tabungan yang saya kumpulkan beberapa bulan itu mencapai harga KBBI yang dipatok, betapa bahagia saya.
Boleh saja seseorang tak mempunyai KBBI, dan itu sah. Tapi bagi saya, ia merupakan bagian penting dari pengetahuan, dan ini tentang prinsip. Seseorang bisa memahami sebuah tulisan tak harus dengan bantuan KBBI, tapi mungkin karena pengalaman yang terus diulang. Tapi bagi saya, meskipun sudah paham secara literer, ketika saya tak tahu definisi kalimatnya--- saya tak bisa menghindar dari kegelisahan. Misal kata Cinta, saya paham maksudnya, tapi waktu itu saya tak bisa menjelaskan secara mendasar, dari situ saya paham perbedaan antara Cinta dan Asmara, yang ternyata secara pemakaian keduanya mempunyai kedudukan dengan tingkat yang tak sama.
Kalimat tersebut diucapkan oleh Mahsun, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud. Ada benarnya, tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang sering diabaikan bahwa Bahasa justru menjadi lebih berarti ketika ia berperan ditengah perbedaan yang merundung. Artinya, Bahasa Indonesia mempunyai fungsi multi sebagai alat untuk menjaga keutuhan NKRI.Pada Kongres Bahasa Indonesia I di Kota Solo, Jawa Tengah tahun 1938 silam, telah dikukuhkan bahasa Indonesia tidak hanya sebagai alat komunikasi saja, tetapi jati diri bangsa Indonesia. Bahasa merupakan ciri yang secara jelas mampu membedakan satu kelompok dengan kelompok lain.
Dalam hal itu, KBBI berperan. Saya tak tahu seberapa penting ia menjadi bagian makro dari rakyat Indonesia, mungkin hanya beberapa saja dari 250 juta rakyat yang menjadikannya sebagai referensi wajib. Bahwa KBBI adalah pusat bahasa Indonesia- yang didalamnya, pada akhirnya, semacam seleksi tentang kata yang mesti diingat dan yang dilupakan.
Nampaknya tak selamanya begitu, mungkin ia terbeli sebagai bagian dari rasa cintanya terhadap Indonesia. Tapi ketika saya membelinya, tak ada perasaan itu, yang ada hanyalah kecamuk ketidak-tahuan tentang maksud beberapa kalimat saja sebenarnya. Perasaan itu muncul justru ketika saya sudah lama mengusungnya kemana-mana. Setelah mengenal internet, saya tak sengaja menemukan KBBI versi online, dimana pengelolanya adalah Departemen Pendidikan Nasional, di situ ada tertanda Dr. Dendy Sugonosebagai sebagai Ketua Pusat Bahasa.
Lebih ke depan lagi, saya menemukan KBBI versi offline, disusun dan diposting oleh Ebta Setiawan. Meski saya ikut memanfaatkan kedua KBBI versi online dan offline itu, tapi saya lebih nyaman memakai KBBI versi cetak, sebab saya selalu ingin menghargai kenangan ketika rela prihatin demi bisa memilikinya, saya terus terkenang betapa merana mendamba tanpa bisa memiliki, saya mengenangnya sebagai rasa penghormatan kepada masa dimana saya tak bisa merokok Di Sam Soe selama berbulan-bulan.
Pada akhirnya, KBBI adalah sebuah media yang di dalamnya, ada upaya untuk menghalau ketakutan dari rasa ketidak-tahuan bahasa, menggunakannya seolah ada negasi dari sok tahu akan paham maksud---meski saya yakin salah dalam hal tersebut, tapi saya lebih bahagia memakainya ketimbang mengabaikan, maka ini hanya soal selera, buka merupakan sesuatu yang mendekati keyakinan.
Kita akan kesulitan untuk berinteraksi secara intens jika kita tak menguasai bahasa. Walter Benjamin, mengatakan dan mempercayai ada satu wilayah yang sepenuhnya tak terjangkau oleh kekerasan— yakni wilayah “pemahaman”, Verständigung. Dengan kata lain, bahasa. Mungkin saja, keberadaan kamus bisa menjadi batas bagi pemakainya, sebab sejak balita pun sebenarnya seseorang sudah terbiasa menyerap bahasa dari bisikan lembut Ibu, obrolan Bapak terhadap orang lain pun menjadi dasar untuk dipakai sebagai pemahaman selanjutnya.
Padahal, ketika menggunakan KBBI sebagai pengawal pun sebenarnya ada banyak ungkapan klise yang tak bisa kita sampaikan ke orang lain, ada banyak ungkapan hati yang tersangkut dan tak mampu kita bahasakan secara lisan, dalam hal ini KBBI nihil. Saya sering gagal terbantu olehnya ketika ada saat-saat menakutkan yang mendekati takluk, bersama dengan itu, tatapan mata seolah mengambil-alih posisi bahasa yang terangkum di KBBI.
Atau mungkin, sesuatu yang mendekam di perasaan itu merupakan bahasa lain yang tak terkait dengan apa yang ketika dilisankan, dan ketika ia hendak keluar otak akan menyusunnya lebih dulu dengan cara memilih bahasa yang bisa mencapai pemahaman liyan---bahasa apapun, meski begitu pun, masih ada serpih penyesalan ketika bahasa yang kita seleksi itu tak memenuhi apa yang didamba, dalam hal ini KBBI berfungsi sebagai upaya.
Tapi bahasa nampaknya selalu membutuhkan tautan, ada yang menggunakan tangan sebagai penyeimbang bercakap, ada yang memakai kerdip mata untuk memudahkan mengeluarkan bahasa, meski ada sebagian orang berpendapat bahwa melisankan bahasa adalah bagian yang samar dari dusta; sebab sebelum berwujud, bahasa mesti melalui tahap disaring lebih dulu, ‘’disaring’’ berarti mengandung pemilihan, dan pemilihan berarti menyingkirkan yang tak pas, ‘’yang tak pas’’ itulah sebagai bahasa yang disembunyikan, sebuah reproduksi hasil dari seleksi kata di dalam pikiran.
Pada suasana tersebut, bahasa mengerucut ke tempat bertaut, tahu ada bahasa yang musykil terurai, menganggap perlu menyeleksi agar sasarannya gampang memaham, yang demikian sebenarnya adalah teror bagi dirinya sendiri
Terakhir, ada satu hadis nabi: Man arofa lughota qoumin salima min mukrihim---barangsiapa mengetahui bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari tipudayanya. Dalam riwayat lain, hadis tersebut disampaikan begini: Man ta'allama lughota qoumin amina mukrihim---barangsiapa mempelajari bahasa suatu kaum, maka ia akan aman dari tipudayanya. Dalam riwayat lain, hadis kedua yang terlampir memakai kalimat Syharrihim---kejahatan
Usman Arrumy 2013 di penghujung October