: Mudrikah Azizah
Aku tak tahu pada pagi yang keberapa
kesekian kali aku termangu
sejak kali terakhir mataku dapat menjangkau parasmu
masa lalu yang melengkung kian jauh,
kenang tentangmu yang terus rubuh-tumbuh
Aku masih ingat betapa setiap katamu membuatku kepayang
bahkan diammu pun menjelma puisi paling terang
maka bahasa mana yang berani mengisahkan kau, Cinta
sementara aku tak cukup punya kata untuk memuja
seperti beraian udara yang ambyar begitu saja
sebab mungkin aksaraku tak sejelita bianglala
Saban menjelang subuh, selalu ingatanku tersentuh
Oleh pohonan di mana kita sempat berteduh
Pada setiap tikungan yang debunya berserakan
Terhadap kafe wapo dan warung singgahan tempat
kita makan
Kau pun tahu, Cintaku
sepanjang Pare-Buka’an masih menyembunyikan kisah
kita
pada jalan Brawijaya telah menjadi tanda
bahwa cerita yang kita rajut dulu tak mampu kulupa
pada tanah tulungrejo telah menjadi saksi
kalau kau dan aku pernah saling menyusupkan sepi
tapi biarlah seluruh tentangmu kusemat dalam nadi
dan kepada matahari yang selalu menyaksikan kita
setiap kali melenggang ke ruang yang tak berpeta
betapa sinarnya membaca sejarah kita
aku dan kau tak sanggup berdusta
pada kelokan tempat mula kita jumpa
saat awal di mana cinta menyeruak ke jantung kita
yang membentang antara damba dan asmara
melepas berlaksa pandang ke utara
seperti lebat dedaun yang tunas di pohon cemara
Mungkin kesunyian ini menjadi isyarat
bahwa kenangan belum sepenuhnya tamat
sebagai riwayat yang tak sanggup diurai kalimat
kata yang terguris di halaman batin
seperti cahaya memantul dari cermin
mungkin lantaran namamu kusebut tanpa jeda
sebagaimana bersit sinar menyelinap ke sela jendela
dan kita tak sempat menjadi puisi
sebab kesunyian ini berubah lesi
Kita pun sering lupa betapa derita adalah niscaya
Aku tak peduli bagaimana akhir dari kisah kita
Bagiku, bersamamu adalah saat-saat terbaik dalam hidupku
Maka tak perlu kautanya; mengapa kehidupanku jadi bermakna
Semenjak aku mengenalmu kali pertama
Hal sepele dan konyol yang pernah kita lakukan
terasa menjadi istimewa setelah semua
luruh ke dalam ingatan
Terhadap kejujuran yang seringkali terpana memandang
kenyataan
Kesendirian yang acapkali menghadirkan masa silam
Telah menebus rindu bahwa kau dan aku tinggal kenangan
Yang tertulis jauh sebelum kita ada
Sungguhkah sekian lama di antara kita ini bisa disebut
cinta?
Yang kadang menjadikan kita sama-sama terluka
Maka izinkan aku berdusta bahwa
“Diantara kita sebenarnya tak pernah ada asmara”
dengan perasaan yang semurni embun
aku melambai serupa daun
kau membelai ujung jakun
kita akan lama mengalami junun
dalam rindu yang terhimpun kesekian kurun
sebelum akhirnya kita terlempar dari perut Nun
Di sebuah jazirah di belahan timur
seluruh rinduku sempat berkesiur
sebagian termaktub dalam kitab cinta
yang di setiap lembarnya tersusun nama kita
seluruh rinduku sempat berkesiur
sebagian termaktub dalam kitab cinta
yang di setiap lembarnya tersusun nama kita
kau dan aku melingkar serupa kalung
bersirangkul dalam gandrung
kita saling menyusupkan perih
menempa diri tak kunjung letih
selain airmata, adakah yang lebih pantas mewakili kata
setelah suara tak bergema lantaran tersumbat derita
Dan bila namaku masih sempat berdenyut di jantungmu
Biarlah kubasuh dukamu dengan sisa airmataku
Namun pada pagi ini
kauwakilkan dirimu pada serpih sepi
pada udara, tak ada nafasmu lagi
pada tanah, tak ada jejakmu lagi
pada ruang, tak ada cahayamu lagi
cuma pada kenang kau muncul kembali
sebab bahkan adakalanya mengingatmu adalah kelahiran puisi
Ya, pare sempat mencatat kita dalam sejarahnya
setiap jengkal laku kita telah direkam oleh tanah, udara,
cahaya
sampai temu-pisah kita disimak batu dan kerikil
itulah mengapa melupakanmu adalah hal mustahil
Dan ketika kau dan aku dikutuk untuk berjarak
izinkan aku mengenangmu sampai kelak ketika semesta lantak
Demak. 2012
Dengarkan juga puisi ini dalam versi musikalisasi Di sini