Malam senin tahun 2011 di entah pada tanggal berapa, aku tidak ingat persis kapan itu terjadi. aku sowan Kyaiku, dari komplek C aku berangkat, jam sudah menunjuk hampir tengah malam, begitu ada teman memberitahuku bahwa Kyai sedang menemui tamu dengan pintu terbuka, aku bergegas menuju ndalem dengan semangat yang bergejolak. Kulihat dari luar ada tiga tamu, di Ndalem sederhana bercat hijau tua itu, beliau biasa melayani tamu-tamu yang berdatangan dari tingkat apapun, aku mulai masuk melalui pintu depan yang setengah terbuka itu, sambil merundukkan badan aku mengucap salam. Santri Al-Fadlu seusia atau sedikit di atasku, acap kali heran dengan keberanianku yang nampak terasa tidak punya beban setiap sowan kepada beliau, minta
wejangan, atau tibatiba menyelusup ke dalam ketika ada tamu untuk
nguping penuturan Kyai, atau sekadar
ngalap berkah dengan cara mengecup punggung tangannya.
Aku selalu bilang kepada mereka bahwa sowan adalah tindakan membuka ruang untuk bisa lebih dikenal, agar namaku benar-benar nancap di hati Kyai, dengan begitu akan ada potensi lebih besar kalau di setiap doanya namaku disertakan secara khusus. Mungkin ini hanya salah satu jalan untuk menuju ke sana, bahwa para santri kebanyakan sepakat kalau ada santri dipanggil Kyainya dengan menggunakan nama aslinya, maka nyaris bisa dipastikan kalau santri itu bukan sembarang orang. meski aku tahu bahwa tanpa di kenal pun, Kyai akan selalu mendoakan
para santrinya. Di antara buktinya adalah bahwa setiap Istighosah yang
di adakan tiap malam jum'at kliwon itu, Kyai sering mendahulukan doa
untuk santrinya dibanding yang lain. Yang demikian sudah menjadi
konsumsi publik kalau bahwa Kyai lebih menitik-beratkan tanggung jawab sebagai Kyai kepada santrinya ketimbang Abah kepada Putraputranya.