Yang menggantung di Lauh Mahfud

Sebelumnya, aku hendak mengawali catatan ini dengan menanyakan kepadamu, Apakah kauingat kali pertama kita temu? Baiklah, tak usah keburu menjawab, biar kuteruskan dulu catatanku ini dalam keadaan menahan dada yang gemetaran. Sebenarnya aku tak paham dengan isi dadamu selama ini, aku seringkali menduga-duga, adakah masih getaran di balik lubuk batinmu itu? seperti dulu pernah kausampaikan kepadaku bahwa tubuhmu tergetar saat kali pertama kaupandang aku.

Hal-hal sepele yang pernah kau dan aku lakukan terasa lebih berarti ketika kini seluruhnya sudah semayam di dalam kenangan, itulah mengapa dari pertama sudah kutanyakan kepadamu perihal ingatanmu tentangku. Selain perasaanku kepadamu yang kian mengendap ini, ada banyak hal yang ingin sekali kutunjukkan kepadamu; Di antaranya adalah masihkah kau ingat tentang ungkapanmu yang ingin menjadi istri dari seorang yang mukim di demak? Terlepas dari apakah itu kejujuran yang tumbuh atas dasar cinta atau tidak. Aku tak peduli, serasa ungkapanmu itu sudah bagai mengarus bersama darah dalam nadi. Ungkapan yang menjelma bagai bintang di hatiku, Terang, seterang pendar cahaya yang tumbuh di pagi hari.


Itu hal pertama yang kau harus tahu, Kedua, aku juga masih ingat persis dengan kata cemburumu kepadaku, ketika kau minta menunjukkan siapa yang pernah menjadi pacarku, Aku tahu bahwa tidak selamanya perasaan cemburu menjadi bukti atas kenyataan cinta, tapi melihat percikan matamu itu aku punya keyakinan bahwa yang tersirat dari kata cemburu itu sebetulnya menjadi caramu untuk mengungkapkan cinta. Ya, cara untuk menyampaikan perasaanmu itu selalu tidak secara langsung, aku paham karena aku mencintaimu. Tapi ada perasaan resah yang lindap begitu saja di dadaku melhat perilakumu sepanjang ini, meski dengan itu belum tentu menjadi sebuah ketentuan atas kebenaran mutlak. Cemburu yang kaunyatakan itu sebenarnya sudah kutangkap sebagai tanda, meski setiap tanda tidak musti berhasil menjadi sebuah ''ada''. Aku paham betul yang berdesiran di sepanjang tubuhmu itu ketika menyampaikan kata Cemburu padaku, tapi sejenak, sejenak, dan sejenak aku merasaknnya sebagai sesuatu yang menjalar panas kedalam hatiku.

Selanjutnya, Mungkin aku sebagai sekian lelaki yang pernah kaukenal, di antara manusia yang kepincut akan manik matamu. Aku tahu, tidak hanya aku yang lantaran memandang matamu lalu menyatakan cinta. Aku tahu bahwa mungkin aku cuma satu dari banyak lelaki yang rela bermalam-malam tidak tidur sekedar menemanimu ngobrol. Ya, sepenuhnya aku sadari perihal semacam itu. Namun kauperlu punya ukuran sejauh mana--mereka yang mencintaimu, merelakan kehidupannya untukmu. Meski semua itu aku pahami bahwa mereka yang menaruh harapan kepadamu tidak seluruhnya kauterima dengan baik.

Mereka yang pada akhirnya menjatuhkan diri kedalam ruangmu, mereka yang terhijab hatinya untuk selalu mengingatmu, dan siapa saja yang selalu terpana tiap kali memandang parasmu adalah sekian dari manusia yang beruntung. dan aku ada di antara mereka! Tidak, aku tidak akan cemburu hanya sebab ada seseorang yang mencintaimu, karena aku sadar bahwa kau memang perempuan yang sepenuhnya layak di cintai oleh siapapun. Tapi kau musti ingat, aku ada di antara mereka yang mencintaimu itu, meski cintaku ini tak seberapa di banding dengan kebesaran cinta mereka.

Memang, aku tak tahu seberapa besar pengorbanan mereka demi kehidupanmu, aku tak pernah tahu seberapa jauh kerelaan mereka terhadap waktumu, bahkan aku sama sekali tak tahu seberapa dalamnya perasaan mereka kepada dirimu. aku jadi ingat kata Dzun Nun yang mengatakan bahwa Ketulusan sebuah cinta itu dapat di ukur oleh sejauh mana seseorang berkorban kepada yang di cintai. Ya, aku tegaskan, aku mencintaimu, tapi apakah hanya membuat ''Buku Puisi'' untukmu sudah masuk dalam wilayah yang di namakan ''pengorbanan''? Apakah dengan sekedar menulis puisi sepanjang wengi sudah di katakan berkorban? Apakah cuma dengan memandang fotomu lamalama sembari mendengarkan rekamanmu itu sudah di cap sebagai cara berkorban? Apakah dengan menyebut namamu berulangkali itu sudah bisa di kategorikan berkorban? Apakah dengan cara mengingatmu hingga lupa makan itu sudah bisa divonis sebagai berkorban?

Aku sadar, aku mencintaimu dengan sepenuh kekerdilanku, ketimbang mereka yang benar-benar berkorban untuk membuktikan cintanya kepadamu, aku jauh tak ada apa-apanya. Mungkin mereka akan menyanggupi bila kau membutuhkan jalan-jalan, mereka akan peduli denganmu ketika kau sedang tidak enak badan, Misalnya. mereka akan senantiasa ada waktu untukmu. mereka akan menyerahkan sebagian hartanya untuk membelikan keperluan hidup untukmu, mereka akan melayani apapun yang kaubutuhkan, secara moril mereka sudah di katakan berkorban. Sementara aku? ah, tidak aku jelaskan juga kau pasti tahu betapa kerdilnya caraku berkorban untukmu.

Aku ingat sabda nabi; Man ahabba sya'ian aktsaro bi dzikrihi (Seseorang yang mencintai sesuatu maka dia akan banyak menuturkannya/mengingatnya), Kau tahu bahwa aku tak sanggup menulis puisi jika tidak menyebut namamu, kau juga tahu kalau di sepanjang malamku aku tak bosan memandang photomu lamalama, kau pun tahu bila selama ini aku lebih sering mengingatmu ketimbang lainnya, Itu artinya, aku cuma bisa berkorban untukku sendiri tanpa memberikan dampak bagimu. Sebenarnya itu sudah cukup untuk menjadi tanda bagi cintaku padamu, tapi aku selalu bertanya-tanya apakah pengorbanan yang semacam ini layak untuk perempuan yang seistimewa kau?

Dan, pengorbanan macam bagaimana yang pantas untuk perempuan sepertimu? Aku ingin tahu seberapa pentingnya arti dari sebuah ''pengertian'' bagi sepasang kekasih, aku ingin tahu seberapa besarnya arti sebuah ''kepedulian'' antar sesama orang yang saling cinta. Ya, aku paham, mungkin di antara keduanya memang kaubutuhkan untuk membina suatu hubungan, aku paham bahwa pengertian dan kepedulian adalah kebutuhan mutlak untuk hubungan cinta. terlepas dari apakah orang itu tulus dalam mencintaimu, aku sadari mungkin mereka sanggup memberikan kepadamu pengertian dan kepedulian sebagaimana yang kumaksud itu, Tapi coba tunjukkan kepadaku adakah di antara mereka yang mencintaimu melebihi dirinya sendiri, Sebagaimana aku? Aku mencintaimu, bahkan tak peduli nasib pada diri sendiri, aku sudah tidak memikirkan bagaimana nasibku demi tetap utuh mencintaimu, Meski, kau tahu selama ini aku tak mampu memberi pengertian dan kepedulian terhadapmu, lantaran memang keadaan yang tidak memungkinkan. Aku di Kairo sedangkan kau di Ciputat.

Tapi kau tahu bukan? seandainya saja, kau dan aku kelak di pertemukan, pengembaraanku ini juga demi kau dan putramu, tidak semata untuk aku. Maka bila pengertian dan kepedulian masih tetap menjadi prioritas utama untuk saling jalin dalam hubungan cinta, Maafkan aku, bukan hendak aku tak sanggup sebagaimana mestinya, tapi memang ada yang jauh lebih berarti. Baiklah, aku cuma sanggup berkorban untukmu dengan pengorbanan jiwa dan pikiran; Jiwa, karena memang aku mencintaimu melebihi diriku sendiri. dan Pikiran, sebab ternyata waktuku habis semata untuk memikirkanmu dengan cara menulis puisi dan prosa. Kalau materi sebagai ukuran untuk membuktikan cara yang lumrah dalam mencintai, maka katakan kepada mereka Apakah mereka mencintaimu melebihi dirinya sendiri?

Ada ungkapan begini; Jika keduanya saling cinta, maka keduanya akan saling usaha, kalau cuma kamu yang usaha, berarti dia tidak cinta. Ya, aku paham intisari jargon itu,Cinta butuh keterikatan satu sama lain, perlu saling menautkan hatinya. Usaha untuk samasama mempertahankan satu hubungan khusus. Sementara di antara kau dan aku selama ini tidak, tidak ada semacam yang kututurkan di atas itu. Tapi aku begitu paham persis sifat dan perilakumu, meski tak pernah kudengar ungkapan apapun yang menjurus ke soal perasaan. Ya, aku tak pernah mendengarnya. Apakah mungkin benar adanya yang selama ini kupahami bahwa kaucerdas sekali memendam segala jenis perasaan? sepanjang ini memang begitu, kalau kau cuma memberi isyarat-isyarat tertentu tanpa perlu membahasakannya melalui kata.

Lalu bagaimana dengan usaha seperti jargon di atas itu? apakah ternyata kausimpan rapat-rapat perasaanmu itu untuk membuktikan seberapa pentingnya kau dimataku? belum cukupkah bukti atas apa yang selaa ini berdesiran ini? Ya, semenjak kali terakhir kita temu fothomu lah satusatunya yang menjadi walpaper di hapeku hingga saat ini, Suaramu lah satusatunya yang menjadi nada dering di hapeku selama ini. Bahkan, kau tahu. aku membuat buku antologi puisi untukmu; Qutub Cinta dan Zie. Mungkin tak layak bila kututurkan semuanya untuk pembuktian cinta, meski aku sadari itu semua belum merupakan pengorbanan bagimu dan ketimbang mereka yang samasama mencintaimu, Aku jauh, jauh sekali perbandingannya.

Aku beprasangka baik saja, barangkali diammu itu lantaran memang kauterlalu sibuk dengan hafalan Qur-anmu, atau mungkin kau sudah percaya bahwa tanpa hubungan pun aku tetap mencintaimu? semoga saja begitu. Atau memang kau ingin aku lebih serius mencintaimu dengan cara meminangmu hingga kau tega mendiamkan? Sebentar, kau tahu bukan bahwa aku baru mulai kuliah? Atau karena kau sudah terlanjur menyerahkan perihal ''jodoh'' kepada takdir sampai kau begitu mengabaikan perasaan? bukankah jodoh justru di awali dengan saling menumbuhkan cinta hingga kelak ketika benar-benar sudah waktunya akan mempengaruhi perihal persiapan?

Ah, sebenarnya aku sudah hampir putus asa menanggung rindu ini sendirian, tapi saban kali kupandang photomu, seketika mataku berpendar. Pendek kata, aku tak peduli kau terima atau tidak. Bagiku, mencintaimu adalah sudah menjadi ketetapanku, aku hanya tahu bahwa mencintaimu adalah sumber lahirnya puisi, Tentu, tanpa mengharapkan kaumencintaiku, sebab aku percaya bahwa Tuhan satusatunya MahaTahu apa yang tergetar di dalam dada hambanya. Pun begitu, tulisan di lauh mahfud sudah kering, kalaupun di ujung sana--di lembaran tempat Tuhan menuliskan seluruh yang terjadi di semesta ini-- Tersemat namaku dan namamu, seabai apapun kau terhadap perasaanku, aku yakin, Tuhan tetap mengutus malaikatnya untuk merestui cinta ini.

Jum'at, 18 January 2013, Kairo Mesir.


1 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +