Resensi sebuah catatannya MA

Kali ini aku hendak menulis Resensi dari sebuah catatan kecil--dari perempaun dengan inisial MA. Jujur saja bahwa selama dua minggu belakangan ini justru aku lebih sering atau katakanlah lebih bahagia menulis Prosa atau Essai ketimbang Puisi, aku juga tak tahu apa penyebabnya, selain itu, tulisan ini adalah kali pertama aku menyentuhnya, sebuah genre Resensi. Genre sastra satu-satunya yang menuntut sebuah penelitian tertentu pada sebuah tulisan. Bahkan secara jujur, pada mulanya aku ragu untuk menulisnya, sebab keterbatasanku dalam dunia menulis terasa belum cukup kalau di buat meneliti sebuah tulisan, tapi boleh kan sesekali mencobanya? Ya, yang aku teliti ini adalah catatan kecil dari perempuan yang selama ini membayang jauh di sukmaku.

Sebelum kumulai, ada baiknya jika aku berterus terang mengenai arti ''resensi'' itu sendiri, Jujur saja bahwa aku tidak tahu-menahu tentang teori resensi yang sebetulnya, sebab memang aku orangnya pemalas untuk memelajari satu disiplin ilmu secara tuntas. Maka biar tidak di anggap sok tahu, bagaimana kalau kata Resensi yang kubuat judul itu kuubah menjadi ''penelitian makna dari sebuah catatan kecil''? Baiklah, tidak usah memperpanjang soal itu, niat awalku adalah untuk mengurai sebuah catatan, baik nanti di bilang Resensi atau bukan, itu soal lain. dan terserah pembaca mau dianggap sebagai Resensi atau bahkan malah sekadar Diary?

Begini saja, agar kemudian tulisan ini berlanjut sesuai jalurnya, maka kumulai dengan catatannya yang terungkap melalui status Facebook-nya;


Ada masanya, di mana rindu tidak mampu dilafazkan
ketika itu aku menikmati keberpasrahan dalam pejaman mata
yang lebih erat dan detak jantung yang kian cepat

Ada masanya, dimana rindu tiba menjejak pada ruang asing entah dimana
kemudian aku membangun negeri baru disitu
lalu menunggu kau tersesat di tempat yang sama

Baris awal dari tulisan di atas sudah langsung menjadi tanda bahwa memang ketika seseorang rindu akan mengalami sekian banyak keadaan, di antaranya adalah ketidak-sanggupannya mengungkap kata yang masih semayam di dalam benak, itu berarti, bagi perindu, Katakata tak ubahnya bagai Batu, diam menghayati kekerasan sifatnya. Adakalanya memang keadaan rindu itu tidak sanggup di urai hanya melalui kata. Itulah sebabnya dia--sebagai penulis kalimat di atas, mengalami kewajaran orang pada keumumannya. Ada masanya, di mana rindu tidak mampu dilafazkan, Barangkali cuma Rindu yang benarbenar membuat orang itu tidak sanggup mengungkap apa yang berdesiran di hatinya. Itu terbukti pada kalimat ini; Tidak mampu dilafazkan, Lafaz disini mengandung banyak kata tentang Rindu. Dia mengawali catatannya itu dengan kalimat; Ada masanya. Hal tersebut berarti menjadi sebuah alenia penting bahwa setiap Rindu itu tidak selalu--tidak mampu, melafazkan kata.

Menulis tentang rindu itu sebenarnya jauh lebih rumit ketimbang menulis tentang Cinta, meski ke duanya mempunyai getaran yang hampir sama, tapi Rindu jauh lebih mendebarkan dari Cinta sehingga yang merasakannya tidak sanggup untuk melafazkan meski hanya sebaris kata. Hal itu menjadi latar-belakang dia untuk memulai sebuah catatan, sungguh, dia memulai dengan begitu runtut. ''tidak mampu melafazkan'' adalah sekian dari banyak keadaan yang di alami olehnya.

Coba perhatikan pada baris ke dua; Ketika itu aku menikmati keberpasrahan dalam pejaman mata. Ya, aku paham bahwa setiap orang ketika rindu punya cara tersendiri untuk mengekspreksikan kerinduannya. Dan dia memilih untuk memejamkan mata agar lebih sanggup menikmati kerinduannya. Ada dua hal pada baris ke dua yang menjadi keterkaitan dengan baris pertama, Yaitu Pasrah dan Mata yang terpejam. ketika dia sudah tidak mampu melafazkan apapun dan mungkin, juga tidak sanggup berkata dalam keadaan rindu-nya, maka alternatif untuk mengungkapkannya adalah dengan cara Pasrah sambil memejamkan mata. Pasrah adalah sifat yang dia pilih untuk menikmati kerinduannya ketimbang meluapkan emosi, sebab mungkin dengan pasrah dia akan benarbenar mampu menghayati betapa kerinduan itu telah mengoyak jantungnya, sehingga pasrah menjadi satusatunya cara untuk meredamnya. Itu pun sebenarnya mewakili banyak orang,  sebab aku pun demikian!

Terlalu sukar dan mungkin akan banyak menghabiskan lembar bila menerangkan perihal Rindu, aku sadar bahwa betapapun mahirnya seorang penyair, ia akan kehilangan katakata bila menulis tentang Rindu. Menulisnya barangkali tak lebih dari sekadar upaya untuk membuat lebih terang pada keadaan rindu itu sendiri. Agar yang dia rindui tahu kalau dia sudah tak berdaya dalam melafazkan kata. Dan terus terang saja, keadaan ''tidak mampu dalam melafazkan'' itu sejujurnya tidak menjadi hukum baku bagi seorang perindu, sebab pada kalimat ''Ada masanya'' itu sudah menjadi bukti awal bahwa ada keadaan tertentu untuk masuk dalam keadaan ''tidak mampu dalam melafazkan'' sebuah kata.

Mungkin dengan pasrah dan memejamkan mata, baginya sudah cukup untuk menikmati betapa kerinduan itu lebih nikmat di ekspreksikan demikian. Dan pada baris ketiga dari catatannya itu berbunyi begini; Yang lebih erat dan detak jantung yang kian cepat. Kata yang di awali ''yang'' pada sebuah permulaan baris, maka akan membutuhkan tautan sebelumnya. pada baris sebelumnya adalah ''pejaman mata'', ini berarti kalau ditautkan dengan ''yang lebih erat'', maka akan menumbuhkan asumsi bahwa kian erat dalam memejamkan mata akan lebih terasa nikmat. dari sudut pandangku, ketika orang memejamkan mata maka yang dia temukan adalah gelap, semakin gelap semakin jelas wajah yang dia rindui.

Sebenarnya kalau sudah menyentuh perihal detak jantung, aku selalu tak sanggup menaklukkan katakata, sebab darinya ada kekuatan maha gaib yang membuat ujung jemari gemetaran. Tapi okelah, mari kita urai perlahan; Jantung kian cepat berdetak, tentu ada penyebabnya, dari sekian banyak tanda bahwa jantung ternyata kalau sudah di sentuh benda yang namanya Rindu, maka detaknya akan lebih cepat dari keumuman. Sekadar pengetahuan, aku pernah membaca sebuah buku bahwa dalam jangka satu menit jantung berdetak sebanyak 70 kali. Maka ketika sudah di sentuh Rindu, barangkali lebih banyak lagi. itu terbukti pada catatannya yang mengatakan tentang Rindu, detak jantung yang lebih cepat, tentu lebih cepat dari pada keumumannya. kalau boleh memperkirakan, dalam keadaan tertentu, Rindu menjadi penyebab utama jantung berdetak lebih cepat, kalau pada keumumannya itu semenit 70 kali, maka dia mungkin bisa mencapai 140 kali berdetak dalam satu menit, semakin rindu mungkin semakin bertambah jumlah detaknya.

Pada baris selanjutnya, dia mengulangi lagi tentang satu masa, perhatikan kalimatnya; Ada masanya, dimana rindu tiba menjejak pada ruang asing entah dimana. Berulangkali kusimak kalimat tersebut, mencoba memahami apa yang sebetulnya tersirat didalamnya. tapi melulu gagal. Aku hanya mampu memaknai secara pemahaman dasar bahwa pada intinya dia sudah kehilangan arah sehingga tidak tahu akan di tempatkan di ruang mana rindu-nya? ketika Rindu itu tiba, mustinya ada ruang yang bersedia menampungnya. tapi melihat redaksi itu, dia kebingungan sampai pada akhir dari barisnya dia melemparkan pernyataan ''entah dimana''.

Tapi, ketidak-pahamanku terhadap baris tersebut sedikit menjadi terang ketika menyimak baris selanjutnya; Kemudian aku membangun negeri baru disitu. Ya, lebih terang bukan? Negeri mungkin bisa diumpamakan sebuah Ruang khusus. ruang untuk menampung dua hati yang merindu. Hal ini lebih menjadi jelas lagi ketika aku menafsiri kata ''disitu''  menjadi Ruang pada baris sebelumnya, Ya, Ruang Asing pada baris sebelumnya, itu terungkap pada kata ''disitu'' pada baris bawahnya. Maka ini setidaknya bisa menjadi kesimpulan awal bahwa Ruang asing itu adalah Negeri Baru yang akan dia bangun dengan Rindu yang dia rasakan. Dan tentu, Negeri baru yang di maksud tersebut adalah ikatan suci antara dua jantung yang kian cepat berdetak.

Aku malah tersenyum sendiri ketika membaca akhir dari catatan itu; lalu aku menunggu kau tersesat di tempat yang sama. Ya, baris tersebut membuatku tersenyum lantaran ketidak-sanggupanku mengurainya dalam bentuk katakata. Tapi paling tidak aku bisa menarik benang merah-nya, pada kalimat ''ditempat yang sama'' itu menunjukkan bahwa yang MA rindui itu adalah orang yang sama pula, sebab pada kalimat sebelumnya terungkap kata Rindu, dan aktivitas Rindu pada keumumannya adalah kata kerja yang di lakukan pada waktu yang sudah lampau.

Kesimpulannya; katakata tentang Rindu itu--pada dasarnya, tak lebih dari sekadar upaya untuk memperjelas apa yang dia rasakan, pendefinisian mengenai Rindu tak ubahnya hanya menjadi penghalang bagi ungkapan yang sesungguhnya. di sadari atau tidak, keindahan macam bagaimanapun tak akan lebih sanggup mewakili detak jantung perindu, sebab pengalamanku bahwa ketika sudah akut dalam rindu, maka tak ada yang lebih nyaman untuk di ekspreksikan kecuali Diam dan Pasrah dalam ketidak-sanggupan menjangkau yang dirindui.

Ah, aku jadi malu sendiri. Resensiku ini mungkin terlampau kurang layak untuk sebuah catatan seistimewa itu. Aku paham dan mengerti bahwa katakata sebenarnya hanya upaya untuk menjelaskan keadaan tertentu terkait Rindu itu sendiri, ketika aku menulis ini, dadaku penuh oleh kau.  pada akhirnya, aku berharap siapapun yan membaca ini sudi untuk menyampaikan Rindu-kesumatku terhadap penulis catatn itu, kataka padanya kalau jantungku berdetak lebih cepat ketimbang dia! Salam, jabat erat.

Nasr City 29 january 2013 jam 10.43, dalam Kairo yang dingin. # Rekomendasi dari Catatan Facebook

1 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +