Mungkin puisi ini tidak sempat kaubaca, aku tahu bahwa bersamaku bagimu adalah derita. Aku pun paham kaumenjauh demi airmata tak luruh. Mengingatku, barangkali mustahil kaulakukan. Kenangan tentangku mungkin sudah kaugugurkan. Seluruh kisahmu denganku mungkin kaubiarkan melayang, sehingga riwayatku di buku batinmu tak ada, tak ada lagi sepercik bara cinta yang kaunyalakan.
Maafkan aku bila masih rutin mengenangmu demi perasaan perih kembali pulih. Maafkan aku bila masih tekun mengingatmu hanya karena aku tak sanggup melupakanmu. Maafkan aku bila masih rajin menghayati betapa pernah sekedar pernah jalan bersamamu adalah Anugrah.
Aku tak berani berharap lebih kepadamu, aku Cuma ilalang dan kau bulan, cukuplah bagiku mendapat pendaran cahayamu dari kejauhan, sebab apalah aku, memandangmu saja sudah terlampau membahagiakan. Entah untuk sampai kapan aku terus rela tersangkar dalam perasaan pedih ini, aku hanya tahu bahwa mengingatmu adalah ilham bagi sebaris puisi.
Kautak perlu bertanya mengapa selama ini---semenjak mengenalmu, aku rela menanggung keperihan. Sudah cukup bukti bahwa aku mencintaimu; Luh yang berlelehan, namamu yang tanpa jeda kubisikkan, dan aku tak perlu bertanya Apakah kaumencintaiku? Tidak, aku tak hendak menanyakan apakah sama getaran didadamu denganku. Sebab aku terlanjur pasrah digiring ke padang takdir. Kalaupun aku layak menjadi kakek dari cucumu, Tuhan lah yang memberi hak kepada malaikat untuk lalu menemukanku denganmu, bilapun aku patut menjadi bapak dari putramu, Tuhan pula satusatunya satu yang memberi wewenang.
Mungkin puisi ini tidak akan kaubaca, aku tahu bahwa mendengar namaku saja barangkali sudah tak sanggup membuatmu tesenyum. Dan tahu akan kabarku mungkin sudah tak lagi kaucari, sebab menyebut namaku saja barangkali sudah melulu luput kaulakukan.
Maafkan aku bila masih saja kupelihara perasaan ini, merawat dengan hikmat kenangan denganmu, menjaga kisah bersamamu melalui puisi. Meski aku tahu bahwa kau tak akan membaca puisiku ini.
0 komentar