Puisi untuk Simbah

14 Tahun kemudian aku baru lahir
ketika kehidupanmu telah berakhir
saat aku menghirup udara kali pertama
kau sudah lama meninggalkan yang fana

Sekali waktu aku menerka-nerka wasiatmu
menafsirkan setiap jengkal laku hidupmu
Tak kusangka, seluruh kata ternyata
terlalu rapuh untuk menyampaikan makna

Setelah sekian waktu
aku menziarahi mezbahmu
kutemukan doa-doa terbaring
di pusaramu yang paling hening
tapi aku tak pernah bisa mengerti
bagaimana cara untuk mencintai

tapi bukan itu yang sebenarnya merisaukan
barangkali hanya rasa rindu yang tak sanggup kutuntaskan

Itulah, Mbah, yang sejauh ini kuperjuangkan
Berjihad melawan kebimbangan dan kebodohan

Kini, aku dapat menyaksikan senyummu
melalui bibir-bibir zuriahmu
meski musykil kau-aku akan temu
tapi darahmu mengalir di nadiku, selalu
sekalipun kau entah di sini entah pergi
rasanya di dadaku kaulah yang abadi

Kusongsong seruan nurani itu
Dengan cuma satu kesimpulan:
Membuatmu bahagia atau justru murka

Saksikanlah, Simbah. Betapa saat kau jauh dari jangkauku
Penaku menyala membakar setiap kata, lantaran cintaku
Semata-mata hanya cintaku padamu
Yang tetap menggumpal dalam kalbu

Aku tak perlu ragu apakah kau mencintaiku
sebab kasih sayang ibu-bapak adalah warisanmu
mungkin itu mengapa doaku tak habis-habisnya
meluncur ke haribaanmu, demi rindu yang baka

Nasr City. 12 Juny 2014.

0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +