Dualisme: Antara Gembira dan Sedih.

Ada dua kabar yang kontra-atmosfer secara imajinatif--- yang berlangsung nyaris bersamaan: Seorang temanku memberi kabar bahwa novelnya, yang ditulis ketika ia di Mesir, habis lebaran naik cetak. Tentu saya senang mendengar itu, karena memang kabar itu yang sejauh ini saya tunggu-tunggu. Temanku itu teman ngafe sekaligus guru saya. Namanya Walang Gustiyala. Ia budayawan sekaligus novelis kawakan di kalangan Masisir---Masyarakat Indonbesia Mesir. Judul Novelnya Katarsis Hitam-Putih.

Novelnya itu mengambil latar Kairo dengan tema Sejarah. Ia beberapa kali berkisah tentang alur-plot novelnya kepada saya sewaktu di Kafe Samin., daerah Nasr City.

Tak berapa lama, seorang temanku yang lain, memberi kabar bahwa naskah novelnya yang hampir selesai itu hilang bersamaan dengan komputernya yang rusak. Ia beberapa kali juara cerpen dalam lomba yang diadakan Organisasi Masisir, ia teman serumah saya. Ia menceritakan kehilangan itu dalam keadaan sedih, sedih sekali. Malah dalam pengakuannya hampir menangis.

Namanya Dany Novery. Ia wartawan Masisir. 

Saya yang masih dalam suasana gembira karena mendengar kabar novelnya Walang Gustiyala mau terbit tiba-tiba saya harus akting sedih di hadapan Dany Novery. Semata-mata hanya untuk menghormati kesedihannya itu.

Saya tahu, secara semesta, masing-masing temanku itu sudah digariskan untuk bernasib berbeda. Tapi kan saya harus akting sedih. Masa' saya tega menampakkan wajah gembira di hadapan orang yang sedih? Munafik? Tidak, Karena saya berangkat untuk tak menambah kesedihannya seorang teman. Bukankah setiap perbuatan itu tergantung niat awalnya? Yes.

Saya jadi ingat kata Rendra: Bahagia dan derita sama-sama tak ada yang istimewa, karena semua orang pernah merasakannya.

0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +