Sebuah pelaksanaan janji yang dirahasiakan

Ternyata kau menepati janjimu, janji yang kau patrikan lebih dari delapan ratus hari yang lalu. Aku tak pernah menyangka bahwa Kelana Bertasbih--- buku yang menghimpun puisi di awal aku menulis, buku yang kuberikan di warung Singgahan pare siang itu, sampai hari ini masih kau simpan rapi.

Janji itu kau ucapkan pada malam selepas siang itu via telpon; Kau baringkan Kelana Bertasbih di atas dadamu, hingga malam-malam selanjutnya, kau mempunyai aktivitas baru, yaitu Kelana Bertasbih kaujadikan pengantar menjelang tidur. Selalu begitu, katamu. Dan saat malam ketika esoknya kau mesti berangkat ke Jakarta, aku mendengar percakapanmu dengan seseorang yang membereskan kopermu: ''Mbak, buku Kelana Bertasbih itu jangan sampai ketinggalan, harus dimasukkan ke dalam koper'' Kau ingat?

Apa yang lebih membuat kita serasa paling menderita selain saat malam-malam tanpa bercakap melalui telpon? Kartumu IM3 sementara aku AS-- dan itu pernah membuatku meminta izin kepadamu untuk membeli kartu yang sama denganmu, tapi kau tak mengizinkan. Kau mengalah dengan meminjam kartunya Abah atau Umi-mu. Jam delapan malam seusai aku pulang kursus sampai habis subuh saat itu menjadi aktivitas paling menyenangkan, kegiatan yang tak bisa diganggu gugat oleh apapun dan siapapun; Kita bercakap, ngobrol dengan membahas sesuatu yang sebenarnya sepele, kadang bercerita tentang sesuatu yang sebenarnya juga tak penting. Kita tahu, bukan pembahasannya yang dibuat tujuan, tapi saling mendengarkan suara itulah yang menjadi sebuah kemutlakan.



Sudah delapan ratus hari lebih ternyata kejadian itu berlalu. Dan hari ini, 19 september 2013. Ketika aku sudah berada di negeri yang jauh darimu, negeri dengan Seribu Menara, negeri Kinanah. Ingatanku kembali masuk ke wilayah kenangan itu, ketika tak sengaja tahu kalau ternyata kau masih memegang janjimu padaku malam itu, bahwa Kelana Bertasbih kau bawa kemanapun kau pergi, masih juga kau hamparkan buku itu di dadamu setiap menjelang tidur-- sebagai sesuatu yang tak pernah kuduga. Justru aku tahu tidak darimu langsung, melainkan dari seseorang yang kebetulan kenal aku dan berulangkali mempergoki buku itu selalu ada di dalam tasmu, kadang kau baca di sela perjalananmu.

Sebab sejauh ini, sejauh delapan ratus hari ini. Kau tak pernah bilang tentang itu dan, kau dan aku seolah tak saling kenal. Alangkah haru! Entah itu kau lakukan atas dasar puisi-puisinya yang kebetulan kau suka atau, karena penulis Kelana Bertasbih itu; Aku tak peduli. Aku hanya girang saja bahwa diamdiam kau menepati sesuatu sebagai pelaksanaan janjimu, kau lakukan secara rahasia, dan tanpa sepengetahuanku.

Catatan ini kutulis semata-mata sebagai penghubung kegelisahanku, aku tak bisa diam dari kegelisahan, dan menulis adalah upaya untuk meredamnya. Pada akhirnya, aku masih sebagaimana yang semenjak kali pertama kau kenal Senin siang itu; Masih menjadikanmu sebagai perantara untuk menemukan kesejatian hidup. Menulis puisi salah satunya.









2 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +