Kangen, kenangan dan Ketabahan


 1)
Kangen selamanya akan bernama ketabahan, tapi ia tak selalu berkait dengan apa yang disebut kenangan-- bahwa masa depan ternyata punya kemungkinan untuk dikangeni. Bahkan dalam situasi yang nyaris tak berjarak pun, ia tetap bisa aktiv meski dalam kadar yang samar, artinya, dalam keadaan seperti itu, kangen tak ubahnya menjadi rasa syukur yang tak diakui.
Bahasa, akhirnya tak menjanjikan apapa, kecuali rasa sayu yang terabaikan, mungkin karena ia tak tertampung definisi, juga tak teraba konsep. Dalam hal ini, katakata tak punya potensi untuk menjadi fonemis, yaitu sebuah metafora yang kehilangan dayanya. Tapi setiap ketabahan nampaknya selalu ada kondisi urgensi-- keadaan yang menuntut untuk menyampaikan sesuatu melalui bahasa; Kangen adalah ekspreksi kegelisahan, mungkin juga kekecewaan yang terlambat, atau senyum yang tak sesungguhnya. Semua itu hanya hadir sebagai tanda, isyarat yang selalu menghindar dari metoda penafsiran.

Selanjutnya, Ketabahan itu kini bernama kangen, sebab dalam pernyataannya yang paling murung pun, kangen tetap membutuhkan sebuah harapan. Sebagaimana
peristiwa yang disebut perpisahan ituadalah mula dari ikhtiar untuk menciptakan definisi kenangan; Adegan lampau yang menyimpan sejarah, meski ia hadir sebagai sesuatu yang tak selalu total. Mengingat yang lalu berarti bagian dari memuja yang tak kelihatan--Transisi yang bergerak antar alenia sebuah pengalaman, di titik ini ada gema yang kembali, sebuah percakapan yang tak selesai. Tiap kali masuk ke dalam wilayah kenangan, berarti siap menanggung beban bahwa mendoakan adalah peran purba dari kesendirian.


Bersama Gus Zainuddin Madiun, di Tubromly Nasr City

  • Kangen, kenangan juga ketabahan adalah tiga komposisi yang tak bisa distrukturkan secara terpisah, ketiganya mempunyai nasab yang sama.


Pada akhirnya, kangen hadir sebagai sebuah kekecawan yang sembunyi di balik sublimitas, dari sini akan paham bahwa ia hanya sekadar keterbatasan. Tapi dari situ pula, ia akan melihat senyum yang sesungguhnya. Kenangan adalah tempat berpaut untuk kangen, re-aktivitas yang bergerak ke sektor masa lalu, kegiatan yang berperan untuk menyelamatkan sebagian zaman lampaunya, dan menuliskannya ke dalam bentuk kata adalah upaya agar kemudian bisa dikenang lebih lama.
''Makna'' tak selalu hadir sebagai sebuah bahasa, ia terus menempuh perjalanan dari ketidaktahuan ke suatu yang bisa dinamai. Ia yang memuja konsep, tak berdaya merumuskan suara bising sebagai bunyi, mungkin tahu ''arti'', tapi Makna terasa musykil digapai. Dari sini bahasa terungkap sebagai sesuatu yang tak lengkap, bahasa selalu sering berpaut dengan retorika, sementara makna hadir sebagai metafora. Keadaan kangen adalah bentuk lain dari arkais--- makna yang bisa dipakai hanya ketika ia sedang jauh, betapa sulit kangen itu hadir ketika sepasang kekasih sedang bersisentuh. Maka bahasa, dalam perihal kangen, tak bisa mutlak mewakili sesuatu yang tumbuh di dalam tubuh. ''Makna'' bukan berbicara tentang sesuatu yang selalu terucap, ia ada justru ketika ''kangen'' sudah tak ada kemungkinan untuk dbahasakan,


Setiap masa nampaknya selalu ada saat di mana seseorang mesti diam, bungkam dari peristiwa, rasa trauma yang hadir sebagai pekik yang panjang, di sanalah, pada akhirnya kesabaran diuji oleh rasa sakit menyaksikan beragam teror yang sudah tak lagi relevan. Selanjutnya, aku tak tahu bedakah nasib, keberuntungan dan takdir? Agaknya ke tiga komposisi tersebut menjadi bagian remang dari sebuah makna, mungkinkah metafora yang berperan dalam hal itu, atau sekadar alih literer ke dalam leksikal yang belum ternamai? Tapi, toh itu semua akan berujung pada kesadaran bahwa kita, sebagai manusia, selalu berkaitan dengan sesuatu yang disebut keterbatasan.




2)


Buku, selalu mengambil alih posisi sebuah percakapan yang teramat panjang, sementara Membaca adalah fitrah untuk melawan ketidak-tahuan, merawat kebebasan; Kita hanya penafsir isyarat yang tak pernah tuntas. Meski selalu ada kebenaran baku di dalam buku, kita tak akan pernah benar-benar mengerti pada bagian mana kita mesti berhenti, mengusut rahasianya? Keterbatasan kita diuji dengan makin mutakhirnya kesepian yang kita alami. Tapi kau selalu bilang bahwa kata pertama yang turun sebagai keindahan di goa itu adalah; Bacalah! 


Aku tak pernah tahu persis bagaimana sebuah keinginan itu selalu hadir sebagai sesuatu yang tak gampang untuk dikendalikan, nampaknya ia memang tak ditakdirkan untuk tak ada. Keinginan selalu bergerak ke arah yang semula mungkin tak diinginkan, selalu ada ketidaksadaran bahwa keinginan adalah keprihatinan yang sesungguhnya

Maka sebetulnya pada kalimatnya Abul Hasan seolah menjadi bagian lain dari bentuk makro sebuah keinginan itu sendiri: ''Jika sudah berupaya, tapi masih mempunyai keinginan, maka inginkanlah untuk tidak mempunyai keinginan''. Pada akhirnya memang doa, meski selalu tak mutlak, agaknya terus berupaya untuk membersihkan hati dari keinginan menjadi sesuatu yang tertangguhkan, agar ketika kau memasuki, hatiku sudah pantas untuk menerimamu.


Sikap maaf hadir tidak sebagai apa yang selalu terucap, mungkin saja, merasa lebih dulu bersalah adalah bagian sikap maaf yang niskala, yang mungkin terabaikan. Maka jika dihadirkan dalam bentuk ucap, selalu ada yang tersembunyi dan tak sampai ke lubuk selainnya. Selebihnya memang cinta, sebuah doa yang dihimpun dari kesepian, maka fakta selanjutnya adalah ketika sedang berjauhan, aku mesti siap memelihara ingatanku tentangmu. Mengenangmu, barangkali tak pernah penuh, tapi ia bisa menjadi bagian lain dari upaya memaafkan. Dan mendoakanmu adalah puncak dari kegelisahan, sesuatu yang menghubungkan cintaku untuk sampai ke dalam kesadaranmu.

Kesedihan ada karena sebagai bagian dari senyum yang sesungguhnya, sebagaimana seseorang sedih karena menyaksikan sahabatnya pulang dari tanah rantau (ini). Aku jadi tahu bahwa setiap perpisahan selalu ada rahasia yang perlu disampaikan; yaitu ikatan gaib yang tak perlu indra untuk memahaminya--- Hati, sukma, jiwa adalah tempat berpaut untuk sesuatu yang disebut sebagai revolusi, sesuatu yang mutlak dijadikan tempat mengadu ketika sedih. Seperti keadaan saat ini, ketika baru saja melihat seorang sahabat kembali ke tempat di mana ia berangkat (ke sini).
Mencintai kampung halaman, adalah bagian dari representasi iman. Dan seseorang yang pisah darinya demi menyelamatkan sebagian masa depannya, bukan berarti ia tak mencintai. Ia tahu bahwa air yang diam tak mengalir akan keruh. Pada akhirnya mengingat kampung halaman ketika sedang jauh adalah cara untuk merayakan cintanya, menghidupkan kenangannya berkalikali adalah upaya untuk membuktikan bahwa cinta itu masih ada.

Kesimpulan:

Kenangan, pada akhirnya tak menjanjikan apaapa selain hanya akan mereduksi leksikal kangen ke dalam sesuatu yang bisa didefinisikan. ~ Premis mayor

Jika kau bertekad mencari tahu definisi kesunyian yang mendekati kebenaran, kau mesti masuk ke dalam wilayah yang biasa disebut kenangan. ~ Premis minor

Kau dan aku adalah kesimpulan akhir dari rindu-dendam, kita menjadi suku-kata yang berbaring dalam Antologi ''Mantra Asmara'' ~ Klausatif


 Bersama Gus Ali Langitan di Suq Sayarot


 Agustus 2013 Mesir

0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +