Maafkan aku, Buk. Semenjak kali terakhir aku dapat memandangmu, di Soekarno-Hatta. Kau tahu bahwa aku makin tak sanggup menahan kangen yang gemuruhnya selalu mengalun di dadaku. Ya, malam jum'at waktu itu, kau lepas aku yang hendak melenggang jauh ke benua sebrang. Kutulis ini dengan luh yang mengembang di mataku.
Buk, maafkan aku. Sampai kini, dari pertama aku menginjak tanah bumi Kinanah ini. Aku tenggelam ke masa silam. Aku lebih sibuk mengingat seorang perempuan yang sesungguhnya musykil mengharapkan aku. Aku sengaja melupakan niat-tekad dari rumah. Bahwa sejauh ini, aku belum menyentuh pendidikan yang semula kudambakan.
Buk, aku sudah tak tahan menanggung kecemasan ini, ia meleleh sebagai airmata. Dengarkah kau isaknya? Aku masih ingat jelas saat kau membisikkan kepadaku tentang katakata yang kini mengiang, wajahmu membayang, Buk. Hari ini aku jadi lelaki paling cengeng, mungkin kau tak percaya, Buk. Bahwa seorang Usman Arrumy bisa sempat menitikkan airmata. Mataku memerah semalaman, lebih murung ketimbang seribu mendung.
Dalam tahajudmu, aku mendamba namaku kausertakan selalu, Aku mendamba namaku bergema di tengah rintihan doa-doamu. Ketika kekhawatiran berlinang, sebagaimana airmataku. Hanya kaulah yang bisa menyekanya. Aku berjanji atas nama darahmu yang mengalir dalam nadiku, bahwa di setiap kegelapan selalu ada cahaya.
Buk, sampai sini. Airmata belum mau berhenti, setiap tetesannya jadi isyarat bahwa keberhasilan selalu diawali dengan keperihan. Aku janji, mulai malam ini, aku tak sudi memikirkan perempuan. Demi kau, Buk. Untuk yang kesekian kali, maafkan aku, Buk. Sumpah kau jauh lebih ber-hak untuk menempati ruang dalam diriku, bukan yang selainmu. Satusatunya ketakutanku adalah menyaksikanmu kecewa melihatku.
19 Juny 2013. Dalam Kairo yang murung.

Buk, maafkan aku. Sampai kini, dari pertama aku menginjak tanah bumi Kinanah ini. Aku tenggelam ke masa silam. Aku lebih sibuk mengingat seorang perempuan yang sesungguhnya musykil mengharapkan aku. Aku sengaja melupakan niat-tekad dari rumah. Bahwa sejauh ini, aku belum menyentuh pendidikan yang semula kudambakan.
Buk, aku sudah tak tahan menanggung kecemasan ini, ia meleleh sebagai airmata. Dengarkah kau isaknya? Aku masih ingat jelas saat kau membisikkan kepadaku tentang katakata yang kini mengiang, wajahmu membayang, Buk. Hari ini aku jadi lelaki paling cengeng, mungkin kau tak percaya, Buk. Bahwa seorang Usman Arrumy bisa sempat menitikkan airmata. Mataku memerah semalaman, lebih murung ketimbang seribu mendung.
Dalam tahajudmu, aku mendamba namaku kausertakan selalu, Aku mendamba namaku bergema di tengah rintihan doa-doamu. Ketika kekhawatiran berlinang, sebagaimana airmataku. Hanya kaulah yang bisa menyekanya. Aku berjanji atas nama darahmu yang mengalir dalam nadiku, bahwa di setiap kegelapan selalu ada cahaya.
Buk, sampai sini. Airmata belum mau berhenti, setiap tetesannya jadi isyarat bahwa keberhasilan selalu diawali dengan keperihan. Aku janji, mulai malam ini, aku tak sudi memikirkan perempuan. Demi kau, Buk. Untuk yang kesekian kali, maafkan aku, Buk. Sumpah kau jauh lebih ber-hak untuk menempati ruang dalam diriku, bukan yang selainmu. Satusatunya ketakutanku adalah menyaksikanmu kecewa melihatku.
19 Juny 2013. Dalam Kairo yang murung.

Unknown

0 komentar