Perempuan dengan bola mata sebulat purnama memandangku dengan penuh beban, bahwa Cinta adalah ketabahan, ia mendengar suaraku tapi alpa dari kalam. Pada suatu hari, ketika kali pertama mataku berkenalan dengan pandangannya, aku suntuk mendefinisikan gerak bulu lembut yang terbit dari matanya, lengkung alis yang lebih tipis dari daun jeruk nipis. Angan membayang lebih samar ketimbang keraguan, pengertian tak lebih dari penjelasan yang terbatas, tak ada lagi kemungkinan.
Gerimis turun, seorang lelaki yang arwahnya keluar dari tubuhku mendekat pelan, menuju ke sisi paling peka dari kematian, aku menggali kenangan dari sisa-sisa ingatan. Dan ingatan keluar, menguap dari sela gerimis yang menjalar, jantungku berdebar, menghayati bersit sinar yang sudah tiba untuk ambyar, bahwa Cinta adalah sabar. Perempuan itu tergetar, dalam kesendiriannya.
Menjelang senja, perempuan itu mendekap tubuhku dari jarak yang tak bisa kugapai dengan lengan, matanya seolah khusuk menyimak katakata yang gagal kusampaikan, nampaknya cuma gerimis yang sanggup membahasakan. Bahwa cinta itu patuh kepada apa yang dibutuh, tak peduli keluh, pelayaran akan terus dikayuh. Perempuan itu mengusap pipiku yang mengembun dengan harapan, mengambil jeda untuk sekadar menghela.
Setiap pagi, seusai senja itu, aku mencatat segala yang kasat, mengingat semua yang tak terlihat. Bahwa cinta adalah amanat. Ruang untuk menampung kepercayaan, kata benda yang lebih rahasia tinimbang kebangkitan nisan. Bagai Ka'bah, cinta tak mengenal belakang, mengunjungi setiap hati untuk mengetuk kepasrahan. Perempuan itu, yang punya pandangan lebih tajam dari waktu, menderu di dalam diriku.
Aku tak tahu apa yang lebih hidup dari airmata, ketika pandangan pertama seolah tumbuh sebagai duka, ketika sepasang kekasih tersisih serupa buih. Bahwa cinta adalah kesadaran untuk saling menghormati, walau kadang harus mati demi pembuktian tertinggi. ''Kepalaku hanya diisi oleh keraguan untuk bisa melupakanmu'', tuturnya. ''Bukankah kita musti melalui peristiwa agar cinta bisa beranjak dewasa?'' Perempuan itu bungkam, sementara hari sudah terburu jadi hitam. Tapi semoga saja dia berhasrat untuk paham.
Aku tak tahu apa yang lebih hidup dari airmata, ketika pandangan pertama seolah tumbuh sebagai duka, ketika sepasang kekasih tersisih serupa buih. Bahwa cinta adalah kesadaran untuk saling menghormati, walau kadang harus mati demi pembuktian tertinggi. ''Kepalaku hanya diisi oleh keraguan untuk bisa melupakanmu'', tuturnya. ''Bukankah kita musti melalui peristiwa agar cinta bisa beranjak dewasa?'' Perempuan itu bungkam, sementara hari sudah terburu jadi hitam. Tapi semoga saja dia berhasrat untuk paham.
''Semua yang kau tulis adalah kebohongan'', bisik perempuan itu paginya. Ada yang selalu terselip dan tak bisa kau uraikan, kelak, ketika kau sudah malu untuk mendefinisikan cinta, saat itulah kau merdeka. Sebab kejujuran tak akan pernah kau jumpai dalam bentuk kata. Darahku berhenti mengarus. Kemudian, sesaat selepas nadiku rehat untuk berdenyut, perempuan itu menjelma kesepian yang melingkar di pundakku. Bahwa cinta tak perlu Adalah, tak perlu Karena--untuk membuktikannya.
11 Mey 2013, Kairo
Unknown



tak mengharap apa juga tak lantaran apa, cinta yang murni tanpa ada kata namun sarat makna
BalasHapus