Khalifah Yang Penyair

 Sebuah himpunan puisi yang sempat kutulis, yang lalu kujadikan sebagai buku, satu ketika pernah mengaku mempunyai perasaan ragu, sebuah ketidak-percayaan diri menjadi puisi, ia tidak begitu yakin mampu memberikan pemahaman dan pelajaran baru bagi Pembacanya. kadang justru memintaku untuk dikembalikan kerahim terdalam tempat ia berasal, sebab ia merasa belum saatnya lahir. Ibarat bayi dikandungan yang belum saatnya memulai pengembaraan yang sesungguhnya, ia merasa butuh menempa diri lebih lama dengan cara semedi di batin seorang penyair. sehingga ketika saatnya penyair mengutuk menjadi kata, ia sudah siap untuk menjelma puisi yang bukan jadi-jadian.


suatu waktu, ada sebagian huruf yang menantiku untuk segera ditulis, mereka rela lama-lama menunggu demi bisa menjadi puisi, mereka sabar untuk ditulis menjadi baris, larik atau apapun lah namanya. sampai mereka pasrahkan seluruh dirinya kepadaku untuk dijadikan dengan bentuk apapun yang kumau.

mereka seringkali bertandang malam-malam, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. secara tiba-tiba. kadang aku kasihan jika mereka terlalu lama menunggu dibagian terdalam dari diriku, sebab mungkin mereka sudah teramat rindu untuk bisa tercipta sebagai kata, mungkin juga mereka sudah sungkan menjadi seonggok aksara, sehingga mereka merasa sudah pantas untuk ditulis sebagai puisi.

''aku ingin jadi puisi'' kata mereka suatu malam. aku tersentak belum siap, waktu itu aku baru bangun tidur. namun sikapnya kali itu sangat santun, mereka lirih beranggapan kalau dirinya sudah saatnya untuk berubah wujud menjadi bukan cuma kata. aku sudah bisa menebak kalau pasti mereka mendamba menjadi Sajak atau puisi atau syair. ''sebentar, aku butuh terbenam kedalam sepi agar mampu menulismu'', Jawabku. kulihat diantara mereka ada yang nampak sudah tidak betah menjadi kata. sebagian lagi ada yang sedih. namun masih tetap menunjukkan sikap kesantunannya dihadapan seorang yang mereka anggap Penyair, Baginya. penyair adalah satu-satunya manusia yang mempunyai kemampuan untuk merubah nasibnya.

kutinggalkan mereka sejenak untuk mencari bekal dalam perjalanan panjang, dari perenungan menuju ungkapan, dari ungkapan menuju tulisan. dari tulisan menuju sesuatu yang sakral. ''tunggu disini, aku akan kembali lagi'', Kataku lirih terhadap mereka yang sudah kelelahan menunggu. tanpa ada jawaban, hanya sorot matanya menunjukkan kepatuhannya sebagai makhluk paling mesra.

Tidak seperti biasanya, mereka begitu bersemangat memintaku untuk dirubah wujudnya menjadi puisi. aku juga tak tahu bagaimana mulanya mereka mengenalku, dan kini mereka terlanjur percaya kepadaku bahwa aku adalah Penyair, manusia yang diberi mandat oleh Tuhan untuk menyangga seluruh nasib kata. sebagai Kholifah paling romantis yang ditakdirkan menjadi penyelamat kata. Mungkin, mereka menyesal telah dipermainkan oleh manusia yang sedang patah hati, manusia yang begitu pongahnya menjadikan kata sebagai ungkapan menjijikkan. Oleh sebabnya, di antara sesepuh mereka musyawarah, berkumpul di satu ruang sunyi. wilayah konflik yang akan menentukan bagaimana nasib selanjutnya. mereka serius memilih siapa yang pantas di datangi? siapa yang layak menjadi penyair yang akan memeliharanya? setelah beberapa waktu lamanya, telah di sepakati melalui dialog panjang, akhirnya diputuskan untuk datang kepadaku.

Semula aku begitu tidak percaya kalau aku dibaiat menjadi Raja darinya. raja yang mengatur kemana mereka akan melangkah, dengan apa mereka akan mengabdi. sebab aku sadar betul, bahwa sesungguhnya aku masih terlalu bocah jika dianggap sebagai dalang dari semua kehidupannya. Namun, berangkat dari ketelanjanganku sebagai manusia yang utuh. aku memaksa untuk yakin, sebab mereka memberi amanat kepadaku, dan aku sebagai manusia dihukumi wajib untuk menunaikannya. aku sekarang menjadi Penyair bagi kata-kata yang berkunjung kedalam diriku. ungkapku waktu itu. dengan perasaan mantab, kuniatkan diriku untuk menjadi wakil dari sekian banyak khalifah penghuni bumi ini.

Ketika aku sudah dihadapannya, kebanyakan dari mereka sudah sangat letih, mungkin lantaran terlalu lama menunggu. Ciri dari seorang penyair adalah punya rasa tawakkal dan sabar. seluruh perilakunya selalu terselip rasa pengertian. melihat mereka yang begitu letihnya, aku tak kuasa menahan sedih, kugairahkan lagi penaku agar kemudian mereka mengalami hidup baru di alam yang juga baru, Menjadi puisi.

Suatu ketika, saat mereka sudah menjadi puisi, sebagai makhluk yang taat kepada penciptanya. mereka rela melakukan apa saja asal penciptanya bahagia. mereka akan marah jika ada yang berkata jelek terhadap dirinya, sebab mereka paham bahwa jika dirinya dilecehkan sama saja itu mengejek penciptanya. dan pada satu saat mereka tahu bahwa penyair, yang sudah menciptakan dirinya menjadi sebentuk makhuk terseksi. Sedih, sehingga pernah dirinya ditulis dengan tinta yang terbuat dari airmata seorang yang begitu mereka hormati, Penyair. lalu dengan nada tersedu mereka mengungkapkannya:

"hei, penyair!
Akan kusampaikan perasaan perih yang berbaring dalam bukumu kepada seorang perempuan (mu) sebagai puisi paling murung yang pernah ia hayati. Agar ia turut-serta merasai bahwa di ruang terjauh dalam dirimu
masih terguris nama (nya). Kalaupun ia tak sempat tergugah untuk membaca bukumu, betapa ingin aku raib darinya. Sebab kehadiranku akan sia-sia belaka. wujudku akan tidak ada gunanya.

Hei, penyair!
Seandainya perempuanmu ternyata tak peduli dengan bukumu, Akan kujaga diriku baik-baik, supaya pena yang menyebabkan diriku lahir tidak ikut berlinang. Atau andaikata (namanya) yang kautulis di lembar pertama dari bukumu itu, yang kaujadikan sebagai kado pernikahannya tidak mampu menghadirkan rasa haru yang mendalam dalam hatinya, maka aku tak rela jika diriku masih ia simpan dalam Rak-nya. Sebab aku tahu bahwa dari perempuan itulah diriku kaucipta sebagai katakata.

Hei, penyair!
Jika diriku sudah sampai di genggamannya, alangkah ingin aku dipeluk sebagai wakil darimu

                                                                     ***


Selanjutnya, oleh katakata aku dijadikan sebagai pembimbing yang akan menuntun kemana jalan kebenaran. mereka sudah pasrahkan seluruh nasibnya kepadaku, sebab mereka sadar, cuma pada Penyair mereka akan dipelihara dengan baik. agar mereka tidak digunakan manusia yang patah hati dengan ungkapan yang menurutnya adalah pemborosan tenaga.

Sekarang, mereka mengakui aku sebagai khalifah dan mereka adalah alat jihad untuk mencapai tujuan. itu berarti, aku memikul tanggung jawab dengan berbagai amanat yang muncul dari diri katakata. tanggung jawab bagi khalifah yang penyair. Dan aku mewakili penyair di seluruh semesta ini untuk ''berterima kasih kepada'' Sahabatnya Kanjeng Nabi, Di antaranya: Ka'ab Bin Zuhair, Ibnu Rawahah, Imril Qois, Labib Bin Rabiah DLL. Sebab dari mereka lah Gusti Allah lalu menurunkan Ayat yang menerangkan berdasarkan pentingnya seorang Penyair, dan dari ayat itulah kemudian kanjeng Nabi memberi rekomendasi bagi penyair untuk tetap menjadi Khalifah Yang Penyair


Tub Ramli Nas City Cairo. 18 October 2012



0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +