Kenangan: Launching JADZAB Di Tribakti Kediri.


 Kali ini aku hendak bercerita tentang kisah di kediri, tepatnya tentang acara Launching Dan Bedah Buku Antologi Pesantren JADZAB, sebetulnya aku mengalami ragu untuk menulisnya kembali, sebab aku terlalu jenaka apalagi, hendak kumulai dengan paragraf yang mana aku memulai kisah ini? Namun secepatnya kutarik perasaan itu, sebab aku menyadari bahwa apa yang abadi dari kenang setelah aku mati selain tulisan? Paling tidak untuk mengobati rasa kangenku pada sedulur-sedulur jadzab, bahkan akan kian mendorongku untuk menulis kisah ini ketika aku paham bahwa kenangan itu rapuh, perlahan akan menyusut hingga lupa.

Dulu, tiga hari selepas acara itu rampung, aku mulai menulis kisah ini hingga mencapai 10 page, bahkan hampir selesai, kutaksir sudah 80%. Namun karena fleshdisk tempat menyimpan tulisan itu hilang dan sampai kini belum juga ketemu akhirnya kuputuskan, untuk memulai lagi dari awal, aku agak kesulitan menulis lagi persis seperti tulisan yang awal, sebab proses kelahiran tiap tulisan berbeda sehingga tidak bisa di teorikan secara sama, namun dari sini, aku kembali me-replay kejadian di tribakti, dari awal hingga akhir dengan sisa-sisa ingatan, kembali mengurai sepanjang perjalanan terselenggaranya Launching, tentu dengan bekal ingatan yang sudah banyak terendap oleh lupa, itulah sebabnya, semampuku kutulis dengan sederhana saja, agar kenangan itu tidak kian terbenam, agar kenangan itu selalu nancap di hati, lewat tulisan ini, semoga bisa menjadi pelipur rindu, dengan terbatasnya kemampuan yang serapuh kenangan itu sendiri.


Meski catatan ini hanya kisah yang terlalu klasik untuk di ceritakan kepada sahabat-sahabatku apalagi yang mencebur di dunia akademis, namun, inilah kepolosanku dalam menulis, tanpa pernah takut jika seandainya tidak ada yang membaca, tanpa pernah malu andaikata tidak di anggap sebagai kisah yang layak untuk di publikasikan.  Sebab kepolosanku ini muncul dari rasa kangenku terhadap kejadian di ruang aula itu, ketimbang tidak menulis sama sekali? :D
*****
Aku masih ingat betul ketika kali pertama aku mendengar kabar bahwa buku JADZAB sudah terbit, saat itu tanggal 6 maret. Ketika aku sedang kursus bahasa arab di OCEAN pare kediri, justru aku tahu kabar itu mulanya dari temanku. Sepulang dari kursus aku mencari warnet di jalan brawijaya untuk membuktikan bahwa JADZAB benar-benar sudah terbit, kukayuh sepeda unta-ku yang kusewa dari persewaan sepeda, kubuka akun facebook. Kulihat ada foto sampul buku JADZAB. Benar saja, seketika kegiranganku tidak bisa di sembunyikan ketika tahu Antologi yang jauh-jauh hari di canangkan kini sudah terbit, iya, pertengahan september 2011 kali pertama Antologi itu di rencanakan, kebahagiaan seorang aku. Sebab inilah pertama kali buku yang di dalamnya ada tulisanku terbit secara resmi dan nyata. Sejak aku tahu bahwa JADZAB telah terbit aku mulai kian terpacu untuk menulis. Iya, bermula dari Antologi Jadzab.

Di kos tempat sehari-hari aku mukim selama di pare, malam sehabis aku dari warnet, aku masih kefikiran wall-nya ning nabilah yang menyatakan akan begitu senang jika seluruh penulis dapat kumpul untuk mendiskusikan tentang buku itu, iya, seluruh malam di waktu itu fikiranku hanya berpusat di seputar Launching. Berkelabat beribu bayang tentang hayalan-hayalan sebagai penyair sungguhan yang tampil di depan panggung, entah apa yang mendorongku begitu kuat hingga kulepas dengan liar fikirku ke alam harap. Seperti penulis sungguhan yang berhasil me-Launching karya tulisnya, atau seperti penyair yang telah memuncak namanya. ‘’Aku ingin seperti mereka’’. Teriakku malam itu.

Mulanya aku hanya iseng dalam arti tidak sungguhan, mencoba barangkali ada respon dari sahabat-sahabat Antologi tentang hayal yang berjubel mengenai Launching, akhirnya kukirim sms kepada ning ochi. Kunyatakan keinginanku tentang mengadakan acara Launching di tribakti, barangkali dengan lewat ning ochi semua akan berjalan dengan lancar, paling tidak dengan membawa nama ning ochi gus reza akan mempermudah perjalanan. Pikirku waktu itu. Pendek kata, ning ochi kujadikan joker :D

Aku agak girang, ketika ning ochi mengabari bahwa gus reza merespon keinginanku itu, artinya, secara tidak langsung aku di suruh menindak lanjuti, bahkan ketika itu aku sudah sadar bahwa ternyata Launching yang dulu kuhayalkan sudah tidak bisa lagi di anggap hayalan, namun sebuah proses untuk melangkah lebih berani.

Dua hari selepas aku sms ning ochi, akhirnya aku melawat ke IAI TRIBAKTI untuk kali pertama, sebelumnya memang aku minta tolong untuk menghubungkan ke gus reza, agar lebih jelas dan benar-benar bukan semata hanya omong kosong, agar setidaknya kunjunganku ketribakti di anggap serius dalam arti tidak main-main. Kalau tidak salah saat itu adalah hari senin, aku berangkat dari kos, jalan sekitar 1 kilo untuk menuju angkot mangkal, tepatnya di tugu garuda di kota pare. Di dalam angkot berwarna coklat itu sesekali kubuang tatapanku keluar jendela, aku duduk di pinggir sopir, jalan menuju arah selatan daru tugu garuda, sambil memutar mp3 dari hapeku yang sengaja kupasang hedset, aku masih ingat, saat itu lagunya poppy mercury

Setiba di kampus, aku langsung ketemu gus reza, sebab sebelumnya memang sudah janjian, di ruang kerja di kampus itu, bertempat di jalan masuk pertama, sebelah kanan jika dari luar kampus, proses itu bermula.  Kupaparkan dengan agak gugup perencanaan launching itu, jujur saja, aku hanya berbekal nekat tanpa mempunyai kelihaian untuk melobi, bahkan aku sendiri membayangkan jika aku menjadi gus reza, aku akan ngakak mendengar penuturanku, seperti habis kehujanan, tubuhku basah oleh keringat, saking groginya! bagaimana tidak? Baru pertama kali aku memproses sendiri acara yang begitu formal, Begitu amburadulnya pemaparanku sehingga kulihat agak melirik gus reza mengernyitkan keningnya, mungkin beliau berfikir, iki bocah karepe piye? Kok awet pertama aku rak mudeng?  Hahahahahahaa :D

Beliau bertanya, lha nanti teknisnya bagaimana? naah, Pertanyaan itu membuatku bingung, malah seingatku waktu itu aku balik bertanya; teknisnya bagaimana? Teknis maksutnya bagaimana gus? Sambil tersenyum –geli- mungkin, beliau menjawab: ya jalannya Launching itu aturannya bagaimana? Aku menjawab dengan sepenuh keyakinan ‘’pokoknya ya launching gus’’...hahahhahaa

Barangkali gus reza tahu kekampunganku, akhirnya beliau bilang; ya sudah sampean nanti nemui gus i’ing, beliau itu Directore Of Exelent, biasanya yang mengurusi masalah begituan. Nggeh gus! Jawabku mantaaaaabbb sekali ( padahal aku tidak tahu apa itu Directore Of Exelent ):D . kebingunganku semakin bertambah ketika gus reza menyuruhku buat proposal untuk mengajukan surat  permohonan perihal acara Launching buku JADZAB yang di tujukan kepada Directore Of Exelent untuk rektor! hahaayy
Selepas 30 menit aku di ruang kerja bersama gus reza, kucari ruang tempat gus i’ing biasanya istirahat di kampus, ternyata sedang tidak berangkat setelah kutanyakan kepada satpam di depan kampus itu.

‘’Anu gus, mas i’ing nembe ndak enak badan, katanya suruh nemui mas bombom saja, biar dia yang ngurus’’ ,Suara ning ochi terdengar di hapeku saat aku sudah di depan kampus, sesaat kemudian, hapeku berdering lagi. Sms masuk, dari ning ochi. Phone number mas bom-bom.

Ibarat perjalanan, aku tidak tahu arah, pada tikungan yang mana aku harus belok, pada rambu yang mana aku harus berhenti, aku harus memperpelan jalan atau mempercepat jalan? dan ibarat orang buta butuh tongkat untuk setidaknya membantu dalam perjalanan, seperti itulah aku saat itu, tidak tahu sama sekali, dan akhirnya ya begitu, nabrak-nabrak. Sangat sesuatu bukan? :D

****


Sepulang aku dari tribakti, aku janjian dengan mas bom-bom untuk merancang proses selanjutnya, saat itu hari selasa, aku mbolos kursus untuk yang ke-dua kalinya setelah sehari sebelumnya aku sudah libur kursus, maksutnya meliburkan diri, hari itu aku bangun sangat pagi untuk ukuranku. Jam 8. :D, Seperti pertama aku ketribakti, aku berjalan satu kilo untuk bisa naik angkot berwarna coklat itu, begitu semangatnya aku saat itu sehingga aku lupa kalau pada hari itu ada hafalan 200 mufrodat! :D

Nampaknya akan menjadi kenangan ter-elok sepanjang aku di pare, angkot berwarna coklat itu melaju menuju stadion brawijaya tempat nanti aku turun, aku duduk di sebelah sopir lagi, panas terik masih bisa menembus kaca mobil angkot dan menyentuh mataku, terpicing mataku melihat jejalan raya itu, perjalanan dari pare ke brawijaya menelan waktu sekitar 45 menit, dalam perjalanan itu, sesekali aku mendengar pak sopir curhat tentang hendak naik-nya harga BBM, sebab waktu itu hanya aku yang menjadi peserta angkot, berarti curhat itu di tujukan padaku, namun aku tidak mengomentari banyak selain lagi-lagi senyum terpaksa yang kuwakilkan jadi jawabannya. :D

sesampainya di stadion brawijaya, aku turun. Menuju warung kopi dekat kantor pos polisi. Menunggu teman untuk mengantarkan aku ke tribakti, agak lama, sekitar 1 jam aku menunggunya, akhirnya kuputuskan nulis puisi untuk mengusir suntuk.

Kali ini sudah  di emperan musola kampus dengan mas bom-bom, berbincang panjang tentang perencanaan Launching, seperti yang aku katakan tadi, aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang teknis Launching, oleh karenanya, aku meminta beliau untuk mengurusi seluruhnya. Sekaligus menjadi Event Organiser. Selama sekitar 2 jam pertemuanku dengan mas bom-bom berlangsung, mencakapbincangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Launching, sesekali kudengar mas bom-bom menelfon temannya yang sudah terbiasa mengurusi acara Launching, di situ aku mulai agak paham jalannya proses, meski masih sebatas wacana. Di sini nilai lebihnya. Semula aku tidak paham dengan apa yang namanya Event Organiser, tidak tahu apa itu teknis, tidak paham segala hal yang bersangkut paut dengan soal Launching, kali itu, benar-benar menjadi sebuah pelajaran baru, dari ketidak tahuan menjadi pengertian yang sebelumnya tidak pernah aku mengerti. Dengan modal nekat itulah aku mengambil ilmu formal setidaknya untuk menambah pengetahuan, dengan modal nekat itulah aku berani merengsek ke tribakti untuk mengadakan hajat besar –bagiku-.

sampai berapa lamanya surat pengajuan belum juga  tertulis, hampir 10 hari proposal itu hanya menggantung di fikiran tanpa pernah kucoba untuk menulis. bagaimana bisa jadi kalau aku sendiri tidak paham dengan teks prposal? Konsepnya apa? Dengan paragraf yang mana yang musti di tulis? Aku tidak paham, lha wong hanya lulusan MI kok :D. Akhirnya, mungkin gus reza melas melihat wajahku yang kebingungan, tanpa proposal-pun jadi. :D
****
Sepanjang proses itu berjalan, kubayangkan, andai saja 17 penulis bisa kumpul semua dalam satu acara, kubayangkan seluruh penulis JADZAB tampil di depan untuk membaca puisinya masing-masing, kubayangkan andaikata dalam satu tempat 17 penulis bisa saling berbagi cerita. Maka siapa yang tidak bahagia? Keharuan macam apa yang tidak tergurat di dada jika yang semula tidak pernah ketemu akhirnya bisa ketemu? Barangkali itulah yang tetap menjadi prinsipku untuk terus semangat, semangat mempertemukan sahabat-sahabatku dalam satu acara, sebab apa yang bisa melebihi kebahagiaan seseorang selain ketemu sedulur  yang sebelumnya hanya bisa di lihat dalam foto? Ah...semoga bisa terwujud seperti yang kudambakan selama ini. Doaku malam itu di depan kos pare.

Jika boleh menggambarkan, aku seumpama bung tomo yang memakai kain merah-putih terikat di keningnya dalam peristiwa 10 november di surabaya, aku seumpama para mahasiswa dalam tragedi semanggi tahun 1998, aku ibarat soebandrio dalam peristiwa rom royen di linggar jati dan kapal renvil, aku bagaikan pangeran di ponegoro dengan jubah hijau di pundak kanannya, pendek kata, nyala semangat yang berkibar saat itu seperti ketika revolusi jihad di gaungkan oleh mbah hasyim asy’ari. :D

Barangkali akan menjadi sejarah yang tak pantas jika di lupakan, sebuah proses maha aneh sepanjang di adakannya Launching di indonesia, keseriusanku untuk mengadakan Launching tidak sebanding dengan pengalaman di medan Bedah Buku, semangatku untuk mempertemukan para sahabatku tidak seimbang dengan pengetahuanku tentang Launching, maka aku hanya berbekal nekat. Bukankah di dalam pesantren sudah berulang kali melakukan Hal nekat? Ya meski dalam konteks yang berbeda, itulah mengapa, bagiku mengambil dasar Man Jadda Wa Jada sudah cukup tanpa harus pintar, tanpa musti mempunyai title untuk bisa mengadakan Launching, maka sebenarnya perjalanan di dalam proses Launching sendiri mengalami ke-Jadzab-an paling Jadzab di dunia per-Jadzab-an, bukan sekedar sampul bukunya, namun pelaku sejarah di dalam terselenggaranya Launching melebihi Jadzab dalam arti yang sesungguhnya, coba bayangkan! Hanya Lulusan MI, itupun di raport-nya hanya menempati ranking 20 dari 25 siswa berani membuat acara di sebuah perguruan tinggi. Jadzab nian bukan? Hahahahahaaaa

Sebenarnya setelah ketemu mas bom-bom untuk yang kedua kalinya, semangatku agak menurun, menurun dalam arti yang tidak sebetulnya! Namun lebih tepatnya aku kian tidak faham ketika di jelaskan proses selanjutnya, padahal, waktu itu hanya kurang 3 hari aku sudah balik ke demak. Dan ketika itu belum juga mencapai titik deal. Akhirnya kuputuskan untuk membuat pleno terakhir terkait Launching dan Bedah Buku, meski di dalam rapat nanti hanya aku dan mas bom-bom saja di emperan musola seperti sidang pertemuan sebelumnya :D

Hari itu, 3 hari sebelum aku boyongan dari pare, aku ingin memastikan seluruh Hal yang bersangkutan dengan Launching. Aku meminjam motor supra 125 milik temanku untuk menuju tribakti, mumpung saat itu sudah tidak ada kegiatan kursus sebab memang sudah rampung. Tidak seperti naik angkot, hanya butuh waktu 20 menit untuk menempuh perjalanan dari pare ke tribakti, itupun belum mengerahkan jiwa mudaku dulu saat masih demen balap liar :D, seperti saat ketemu mas bom-bom sebelumnya, kali itu ngopi di emperan musola kampus sambil ngobrol apa saja, seumpama dalam dunia akademis, maka pertemuanku dengan mas bom-bom bisa di namakan cheking :D, akhirnya, setelah agak lama memilih tanggal dan cukup alot seperti acara bahsul masail, tanggal 7 april di pilih sebagai waktu di selenggarakannya acara Launching. Ketika mas bom-bom tanya tentang siapa nanti yang mengisi kuratornya, aku bingung lagi. Kurator? Wa ma adrokama kurator?  Ini bahasa apa lagi? Tapi ngomongku hanya di dalam hati. (hahahahaha) . kuputuskan untuk nelfon gus Reza Bakhirza, sebab aku meyakini bahwa beliau mesti tahu apa itu kurator, soalnya tiap kali ngobrol bahasanya selalu intelek, yah bahasanya itu  setara dengan pak Andi Malarangeng yang jadi jubirnya presiden itu, sehingga aku selalu hanya manggut-manggut, bukan karena paham, namun tepatnya biar di kira paham. Hahahahahaa. Sekitar 10 menit aku ngobrol dengan gus reza bakhirza tentang kurator, akhirnya nama Nurel Javissyarqi di pilih. Seorang pelaku seni dari Lamongan.

Pikirku, mumpung masih di kediri apalagi bawa motor, kuputuskan untuk jalan-jalan dulu, muter-muter tanpa arah, refreshing setelah di tempa ke-mumetan yang hanya bisa di obati dengan ngopi, aku melaju menuju alon-alon kediri, oh ya...saat itu aku sama temanku dari banten, ponakan dari abuya dimyati. Padahal aku juga sadar bahwa saat itu aku tidak membawa STNK dan apalagi tidak membawa SIM, namun sekali lagi, aku nekat. :D. Setiba di lampu merah arah utara dari masjid agung, tepatnya di pertigaan. Aku lurus ke jalur depan. Tibatiba ada suara teriakan yang sangat kencang, seperti orang demo di depan senayan. Hai....hai....hai...berhenti, temanku yang menengok kebelakang juga ikut teriak. Ayooo gaaass poook! Di kejar polisi dul! Seketika kukencangkan laju motor sambil masih tidak mengerti kesalahan apa yang kulanggar sehingga di kejar polisi? Sekitar 20 detik aku baru paham ternyata lajuku melawan arah. :D, ketika itu aku melihat ke kiri ada jalan menuju area perkampungan, saking gemeternya, aku hampir nabrak tukang becak yang sedang mangkal di pinggir jalan saat aku dengan tajam membelokkan motor, kalau bahasa di desaku ngeplek. Jiiiaaaannccoooookkk!! Kudengar lantang pisuhan itu dari tukang becak, mungkin kalau aku berhenti akan di tonyoni, namun aku tidak peduli, daripada kecekel polisi? Hahahahahahaa. Sudah jauh lamanya polisi masih menguntitku, sekitar berjarak 50 meter di belakangku dengan ninja hijau 4 tak. Untung saja jalan raya saat itu agak ramai sehingga polisi mungkin kesulitan dengan motor besarnya untuk mengejar aku, dan ini memang medanku, kesukaanku di jalan yang ramai membuatku meniru daniel pedrosa. Hahahahahha . wah, kalau ini polisi memang sengaja memaksaku untuk memunculkan jiwa mudaku setelah 4 tahun insyaf dari balapan liar :D. Sampai di alon-alon gumul kulihat dari kaca spion pak polisi yang dengan berani-beraninya menantang aku untuk balapan tadi akhirnya balik arah dengan tangan hampa, mungkin pikir pak polisi: paling umpomo kecekel yo ra nduwe duwit kae...hahahahaha.

****
Tanggal 7 kian dekat ketika aku sudah berada di rumah, iya. Tanggal di adakannya acara Launching, setelah jauh hari sudah di putuskan bahwa tanggal itulah acara terselenggara, namun tanpa terduga sebelumnya, kalau ternyata pada tanggal 7 april itu banyak yang ada udzur, banyak yang menyatakan ketidaksediaannya untuk mengikuti prosesi acara jika pada hari itu. Seperti ning devi dan ning aisya sudah bisa di pastikan tidak hadir sebab ternyata ketepatan pada tanggal 7 itu buntet pesantren sedang ada acara Haul, yu nurul farida dari jogja juga tidak siap sebab pada tanggal 8 ada acara besar di keluarganya, paling tidak tangal 7 sudah sibuk mengurusi segala hal, ning uswaa baru saja nikah, otomatis sulit untuk di harapkan kehadirannya, ning azzqi sendiri tanggal 7 juga ada acara di manaaaaa gitu, gus lizam yang rencananya kuajak berangkat bareng ternyata juga sedang sibuk mengurusi acara lamarannya, ning amna sedang di pondok, ning mia di bengkulu, ning lely di depok, ning nabilah dan ning nada sibuk membuat skripsi, pendek kata. Lengkap sudah ke-mumetanku hari itu, kalau ternyata acara tetap di adakan tanggal 7 maka yang men-konfirmasi kehadirannya hanya ning nayya, gus hasan dan tentu saja, ning ochi.

Di dalam kebingunganku, aku menghayalkan. Andaisaja aku bisa seperti nabi sulaiman, akan kusuruh angin timur tengah untuk mengantarkan gus awy dan gus ufi kekediri, serius. Itu Bukan hayalan biasa dalam arti tidak biasa, namun tetap saja hayalan :D

Tepat seminggu sebelum hari di mana acara Launching terselenggara, aku mulai mempunyai rasa pesimis, antara maju dan tidak. Kalau tetap di adakan berarti hanya empat penulis yang hadir, itupun jika ke-empatnya tidak ada halangan, kalau mundur? Bagaimana bisa. Sedangkan sudah jauh hari sudah terencana dengan apik, apalagi aku akan begitu sungkan dengan mas Nurel jika ternyata tanggal 7 tidak jadi. Hari itu adalah puncak dari mumet, mungkin andai aku jadi presiden akan kujadikan hari itu adalah hari mumet nasional. Hahahahaha...

Di sela pikiranku hampir tidak menemukan jalan keluar sebab rasa pesimisku kian menjadi, Akhirnya kuputuskan untuk menuju kediri lagi dalam rangka menemui mas bom-bom, merancang kembali proses acara dari awal, bahkan aku sudah tidak bisa menyembunyikan wajah galau bahkan terhadap pepohonan, malam itu adalah tanggal 7, mustinya tanggal itu adalah hari di mana Launching di adakan, aku mangkat dari demak menuju kediri jam 2 dini hari dengan naik bus sinar mandiri, satu hal yang membikinku untuk dengan nekat melakukan perkara itu adalah bahwa aku masih ada niatan untuk mempertemukan sahabat-sahabat dalam satu acara, tanggung jawab seorang aku yang terlanjur di beri amanaat untuk memproses dari awal. Di tengah perjalanan menuju kediri aku sempat berfikir: Wes kadung njegur banyu yo sisan telese. Sambil agak ngantuk aku mendengarkan mp3 murottal oleh syaikh Musyari Rasyid. Ketika secara tidak sengaja semangatku kembali menyala-nyala pas mendengar bunyi murottal surat Alam Nasyroh, apalagi ketika sampai pada ayat Inna ma’al usriyusro# Fa Idza Faroghta Fanshob# Wa Ila Robbika Faarghob. Aku semakin yakin untuk bisa melampaui seluruh persoalan ini ketika aku ingat ayat: La yukallifullohu Nafsan Illa Wus’aha.

Pada malam ketika sudah sampai kediri, tidak pakai lama aku menuju tribakti untuk menemui mas bom-bom yang sebelumnya sudah kuhubungi terlebih dahulu, di warung kopi depan kampus itu rapat di mulai, sidang perwakilan Jadzab antara aku dan mas bom-bom saja, di malam itu pula rancangan di ubah, sekitar 1 jam aku dan mas bom-bom mencari tanggal yang bisa di terima oleh kebanyakan pihak, menyusun dari awal prosesi acara yang hendak di tampilkan pada Launching nanti, malam itu aku agak lega setelah menemukan titik deal, akhirnya di tentukan acara Launching di adakan pada tanggal 21 april dengan konsep yang masih sama seperti sedia kala, sampai aku sempat berfikiran, andaikata penulis hanya aku saja yang bisa hadir aku tak peduli, pokoknya tanggal 21 april harus ada acara! :D

Selepas dari tribakti pada malam itu juga, aku ingin membuat suasana yang nyaman untuk melayangkan fikiran, paling tidak meredamkan isi batok kepala yang sebelumnya sempat menguap-uap, malam itu ketepatan malam minggu, aku ingin malming-ngan seperti anak muda zaman sekarang :D, akhirnya kupilih alon-alon kediri sebagai tempat untuk merebahkan seluruh kepenatan, namun aku mengambil posisi di pelataran masjid agung. Setelah wudzu di area masjid itu, kusandarkan punggungku di keramik tangga di pelataran masjid itu, di sebrang dhoho plaza di pinggir jalan kubayangkan, ketika umy qur kali pertama mengajakku untuk mengumpulkan Puisi, ketika kali pertama kuajak ning ochi untuk ikut, kali pertama aku ketemu mbak dian di Hasfa, masih kubayangkan, seluruh perjalanan yang kulewati untuk mengadakan acara, keadaan basah kuyub di bawah deras hujan selepas pulang dari tribakti untuk pertama kalinya, kubayangkan wajahku ketika dalam keadaan sakit tipes dan aku tetap memaksa untuk yang kedua kalinya ketribakti, aku akan sangat bersalah ketika mencoba melupakan seluruh kenangan itu, semua berlalu dengan doa dan dorongan semangat para sahabat-sahabat Antologi, punggungku masih bersandar di tangga pinggir jalan itu, kusulut rokokku. Tibatiba teringat orang yang begitu membikinku semangat untuk mengadakan Launching, orang yang begitu berjasa dalam proses Launching berjalan, namun orang itu tidak akan hadir dalam acara, orang itu hanya memberi seluruh kekuatan untuk men-tenungku agar selalu berkobar-kobar dalam mem-proses di tribakti. Kulihat jam di dalam hape, menunjukkan pukul setengah satu, akhirnya kuputuskan untuk ke jamsaren kediri. Pondok Assaidiyah, Sowan ke kyai dauglas ( pak lik ). Mencari obat hati J

****





Ketika sudah merambah ke 3 hari sebelum acara Launching di gelar ada haru yang tak henti tersedu, seperti ketika aku membayangkan seluruh Hal di pelataran masjid agung kediri pada suatu malam, antara kebahagiaan dan keharuan juga kesedihan bertubitubi mencacah seluruh ronggaku, berdentam-dentam tak kunjung usai, entah perasaan macam bagaimana lagi yang hendak bertandang, kadang aku merasa belum berjuang apa-apa untuk Antologi Jadzab, sebab aku hanya pelayan yang tidak bisa di katakan berjuang, itu namanya khidmat. Iya, mencari sececap berkah lewat JADZAB, Adakalanya aku berfikir bahwa aku terlalu bocah untuk di beri mandat dalam proses Launching, aku hanya mendamba, bahwa keringatku yang berkalikali buncah semasa aku berjalan dari pare ke tugu garuda menjadi bebulir permata berkah kelak, mendamba bahwa gigilku sewaktu di koyak angin di bawah hujan saat sedang nunggu angkot untuk pulang kepare menjelma angin sejuk kelak, mendamba bahwa tiap langkah kakiku saat berjalan dari tribakti menuju masjid agung malam itu menjadi ganjaran kelak, dari JADZAB kuniatkan untuk mencari berkah pesantren, bukan semata untuk aku. Namun semoga juga melimpah kepada semua yang terllibat di dalam Antologi. Aku terlelap setelah lelah pikirku berkunjung ke dalam kenangan.

Malam itu adalah malam jum’at, aku sudah berencana untuk berangkat ke Kediri sehabis fajar, aku mencoba menulis Esai Tentang Antologi Jadzab, sebetulnya di luar maksudku untuk mentuntaskan makalah itu, aku hanya menulis saja tanpa ada niat untuk menjadikan tulisan itu sebagai Esai, sambil membuka akun facebokku, kulihat di dinding Ning Ochi ada sebuah pengumuman tentang di adakannya Launching Di tribakti. Jantungku kian berdebar ketika tiap kali melihat namaku tercantum di dalam Undangan Umum perihal Launching yang di buat oleh pihak Tribakti, kulihat juga yu nurul farida ikut mengumumkan waktu acara, aku kian tidak paham ketika sahabat-sahabat tidak ada yang berkenan untuk tampil dalam Presentase buku, aku sempat berfikir, mengapa sahabat-sahabatku itu sedemikian percayanya kepada orang yang hanya menempuh sekolah dasar saja? Mengapa tidak sahabat yang lain yang sudah teruji di dalam dunia per-Launching-an? Bukankah ning devi sarah itu Vocal di dalam kampusnya? Apalagi sudah berkali jadi presenter di stasiun TV local di cirebon. Mestinya akan lebih aduhai tinimbang aku, lihat juga ning nabilah, mahasiswi di UGM, tentu sudah biasa menyikapi Hal yang semacam ini. Dan aku? Hanya penyair kampung yang kesehariannya ngopi di tiap pemakaman umum. Hanya orang desa yang kesehariannya melancong dari lampu merah ke lampu merah yang lain, hanya orang yang tanpa pernah di sentuh oleh beragam dunia akademis. namun dari sini timbul sebuah pernyataan. Sebuah kesadaran. Tanggung jawab dari sahabat-sahabat, dan satu bekalku. Nekat!!! :D

Selepas subuh, kudengar suara ibuk nderes Qur’an di kursi putih depan kamarnya, akhirnya kutunggu sampai selesai sambil nge-print tulisan yang semalam kuanggap jadi Esai. Seperti biasa,  sebelum aku menjadi pendekar bolang selalu kusempatkan untuk pamit kepada ibuk terlebih dahulu, kuhaturkan niatku kepada ibuk untuk mengikuti suatu Acara di Kediri, pagi itu hari jum’at, langit menyala, seterang semangatku, seperti dendam kesumat nyi roro kidul, semangatku menggebu-gebu, sehingga tidak kusadari, sesampai di dalam bus aku lupa bahwa  adik perempuanku tertinggal, padahal sehari sebelumnya menyatakan ingin ikut serta, dan saat aku berangkat dia sedang masih dalam masa berdandan bahkan laptopku juga ikut tertinggal. Dan itu kupahami sebagai dampak semangatku yang Hyper. Hahahaha
Sesampai aku di terminal tuban, seperti kelakuanku sebelumnya, tiap terminal yang kusambangi selalu kujadikan saksi bahwa aku pernah menjalani ritual atau semacam wadhifah: ngopi. :D. Sambil menyimak wajah pedagang asongan yang menawarkan dagangannya kepada pengunjung terminal Kuhubungi satu-satu sahabatku lewat sms, ingin mengetahui siapa saja yang sudah positif berangkat. yu nurul farida ternyata sudah berangkat jam 6 pagi naik kereta, ning devi sarah hendak mangkat jam7 sehabis maghrib juga dengan kereta, gus hasan berangkat selepas sholat jum’at, namun mendadak ning nayya mengabari, tanpa membawa alasan, beliau tidak bisa menyertakan dirinya untuk ke kediri, aku agak kelimpungan ketika gus mujab tidak bisa di hubungi, padahal malam sebelumnya sudah menyatakan ingin berangkat bareng, namun kali ini, aku sudah sampai di tuban pun beliau selalu gagal kuhubungi. Ketika aku sudah di bus menuju jombang tibatiba ada sms dari gus mujab,yang intinya berbunyi begini: ngapunten gus, kulo nembe tangi, niki kulo langsung berangkat. Hatiku ploong membaca sms gus mujab itu, Kebiasaan dan sudah kucurigai sebelumnya bahwa semalam sampai suntuk beliau chatingan sama aku dan ternyata memang benar adanya. :D

Di babat tuban, bus berhenti sebentar di depan pasar, aku duduk di sebelah sopir, tanpa ada janjian sebelumnya, tanpa ada praduga terlebih dahulu, ada orang yang nepuk pundakku dan itu adalah gus hasan, iya… gus hasan mangkat sama santrinya satu. Selama perjalanan aku dan gus hasan duduk berjejeran namun tidak banyak bicara. Seperti pengantin anyar saja :D

Setiba di alon-alon kediri, saat itu menunjuk jam 5.15 sore, aku dan gus hasan dan temannya langsung menuju masjid agung, masjid yang pernah kujadikan tempat merenung sewaktu kali terakhir rapat di tribakti, masjid yang ikut serta menyimpan sejarah dalam masa proses Launching, setelah aku melakukan jama’ ta’khir dan gus hasan melakukan sholat ashar, kami bertiga mencari warung buat memenuhi Hak-nya perut di sekitar alon-alon, kami saat itu makan sego pecel, sambil melepas penat kuseduh kopi yang sudah agak menyusut dari bibir gelas, malam itu aku berencana akan bermalam di masjid, sebab di kediri aku hanya punya tempat inap di pare, dan itu kupikir akan menambah lelah saja jika aku memaksakan ke pare, dan satu lagi di desa blabak, itupun juga jauh dari alon-alon, maka kuputuskan untuk merebahkan tubuh di masjid saja, sebelum kuistirahatkan diri ini, kami bertiga jalan-jalan dulu ke dhoho plaza, sekedar mencari hiburan. Istilahnya itu ngumbah mripat. :D. Namun rencanaku yang ingin bermalam di masjid ternyata  tidak di restui Allah, barangkali gusti Allah kasihan melihat wajahku yang sudah ngantuk berat sebab 4 hari belum tidur :D, sebab selanjutnya, ternyata yu nurul farida mengabari kalau hendak menjemput kami dengan nyai muawanah di alon-alon,  di suruh bermalam di jampes saja katanya..

Di jampes, di ndalem nyai muawanah itu akhirnya kami bermalam. Malam sabtu, malam terakhir sebelum Launching di gelar, tinggal beberapa jam lagi acara di mulai, mataku lelah namun tak juga rebah, di ndalem itu, ndalem sederhana dengan keindahan penghuninya, kami bercengkerama, yu nurul farida, nyai muawanah, gus hasan dan temannya dan aku. Sambil ngopi kami ber-lima bercerita tentang apa saja, kadang saling mengejek, kadang bercerita serius, bahkan kadang seperti rapat para dewan legislatif: Sepaneng :D. seperti sudah bertemu lama kami cepat bisa akrab, seakrab langit dan kebiruannya. Sungguh, akan menjadi sebuah malam yang selalu terkenang. Malam itu pula aku kali pertama kenal nyai muawanah secara langsung dan entah ada kekuatan apa yang mendorongku untuk menganggap sebagai ibuk, iya, sifatnya yang ke-ibu-an membuatku secara pribadi menjadikan beliau sebagai ibuk. Malam kian menjulur ke dini hari, membuat kami berlima meng-akhiri perbincangan santai itu, gus hasan dan temannya masuk kamar belakang, yu nurul farida dan nyai muawanah juga masuk kekamar. Kecuali aku, aku masih meneruskan wirid malamku: Ngopi. :D, kubaca kitab manahijul imdad karya syaikh Ihsan Jampes, kitab milik nyai muawanah yang tinggal satu juz itu, kitab yang sudah 3 tahun lusa kuidam-idamkan kini bisa kubaca semauku, pikirku ini kesempatan sangat jarang, membaca kitab milik cucu musonif itu sendiri. apalagi ini kitab dambaanku! Maka kusuntukkan mataku menyimak sepuasku. Angin yang memaksa nyusup ke celah atas pintu itu masuk dan membikin tubuhku dijamah dingin berkalikali, mataku mulai di sentuh remang, lalu gelap. Dan lelap. Di kursi panjang ruang tamu itu akhirnya aku tertidur, pulas. Pulas sekali

****
Hari itu adalah hari sabtu, tanggal 21 april 2012, hari yang sudah jauhjauh kutunggu, mungkin juga sahabat-sahabatku, sebab hari itu adalah hari dimana Launching Antologi Jadzab di adakan, masih pagi sekali aku keluar tanpa pamit dari ndalemnya nyai muawanah, membeli rokok di dekat makam syaikh Ihsan, sambil menghirup udara jampes di pinggir jalan raya kubayangkan acaranya nanti, sesekali aku di rayu oleh warung kopi di tepi jalan itu, seakan melambailambai, seakan berkata begini: kesini, usman. Kemarilah. Seduh kopiku barang sedikit. :D. Ditengah aku berjalan menuju ndalemnya nyai muawanah kubaca sms dari ning devi ‘’ gus, aku udah nyampai, ini di rumah ning rya’’. Amboii....waktu kian dekat menuju acara di mulai, kusruput kopi yang masih nguap buatan nyai muawanah itu, di kursi panjang tempat semalam aku rebah, entah bahkan seperti orang ngidam. Aku seakan ketagihan kopi buatan beliau, barangkali dibuat dengan dasar kasih sayang :D. Sesaat kemudian, ning devi dan temannya bersama ning rya datang ditengah kami sedang sarapan, berdecak jantungku kian kencang ketika jam menunjuk pukul 7 pagi, berarti acara kurang 2 jam lagi dimulai, ada kegetiran yang berdebum berkalikali, suasana kian panas-dingin, pating greges. :D. Seperti saat bung karno hendak memproklamasikan Indonesia.

Sambil berkemas menuju Tribakti, kubaca sejenak Esai-ku. Setidaknya untuk referensi nanti, atau untuk mengusir ke-ndredegan selama habis subuh tadi :D,  ‘’Aku sedang menuju kediri dari jombang’’, begitu bunyi sms mas nurel. Aku masih ingat betul bahwa betapa saat aku membaca sms dari mas nurel, hatiku kian tidak karuan. Dari situ, aku mencoba merenovasi mentalku yang kacau, agar tersusun kembali setelah rubuh.
Kali ini sudah di depan kampus Tribakti, kusulut rokok Dunhill yang kubeli dari Indomart depan kampus itu, sambil menunggu ning devi hadir kubaca sms dari ning ochi yang intinya berbunyi sedang menuju tempat lokasi, kulihat gus hasan sudah masuk duluan bersama temannya, kulihat di atas tempat jalan masuk kampus ada x-Banner JADZAB ‘’ Selamat datang penulis buku Jadzab ‘’dengan namaku tercantum di bawahnya, serasa ada dentuman sangat keras, bukan karena bangga, yang demikian justru membuatku kian ciut nyali, sebab jujur saja, penampilanku pagi itu tidak seyakin namaku :D,  ketika aku menatap kampus dari luar gerbang itu ada ingatan yang mendadak tiba. Sebuah perjalanan sepanjang proses Launching itu bermula, ketika masuk kali pertama di Tribakti aku sempat di bentak oleh satpam yang tubuhnya hitam kekar itu sebab aku nylonong tanpa permisi, apalagi saat itu sarungku kucangklongkan di pundakku. Dan pagi itu, kulihat lagi pak satpam dengan profil yang masih sama persis ketika kulihat dulu, sambil menatapku heran  dari dalam pos mungkin pak satpam itu berfikir: lho, bocah iki kan sing meh tak kepruk ndisik toh? Kok iso mene maneh lapo kae ? hahahahhaaa.....

Aku berjalan memasuki kampus dengan ning devi dan temannya, entah itu ke-GR-anku saja atau memang betul adanya, hampir orang di dalam kampus itu melihat kami bertiga, tidak apalah berlagak jadi artis sebentar, Cuma sebentar saja kok,hhahahahaa..di tengah kami berjalan nuju Aula tempat Launching itu di gelar kubisikkan dengan lirih kepada ning devi: Wah, seumpama tidak ada acara beginian mungkin kita tidak pernah ketemu ning. Lalu sambil tersenyum ning devi entah bilang gimanaaaa gituuuu. Sebab suaranya lirih sekali di telan riuhnya gempita suara mahasiswa :D, sebelum naik tangga, di tempat buku Jadzab di pasarkan. Kulihat lagi spanduk yang memuat tulisan ‘’ selamat & sukses Launching Buku Antologi Puisi JADZAB’’, sejenak berkelabat betapa bahagiaku lindap begitu saja membaca tulisan itu, seakan rasa haru melesak begitu dalam.  Masih di depan aula pasca sarjana itu, aku ngobrol sejenak dengan mas bom-bom yang mungkin sudah sejak tadi di situ, kulihat juga mbak dian duduk sambil senyam-senyum lalu bilang tanpa aku tanya terlebih dahulu ‘’aku berangkat tadi malam jam setengah 11 naik kereta’’.

Mulai kumasuki ruang tempat lokasi acara ‘’Aula Pasca Sarjana’’ berwana hijau tua itu, pertama kali yang kulihat ketika aku sudah berada di aula itu adalah BackGround-X Banner yang terpampang besar di dinding berwarna cream, kubaca pelan sampai kuulang lagi, begitu seterusnya. Aku duduk di kursi paling depan, sambil melihat 3 kursi di sebalik meja tempat mungkin –pikirku waktu itu- di buat presentase nanti. Lho, kursinya kok Cuma 3? Lha nanti penulis lainnya di mana?  Apa memang konsepnya nanti bergilran?  Ah, Nanti  tahu-tahu sendiri. Pikirku. Aku keluar dari ruang menuju emper di sebelah ruang itu, sambil duduk kubaca lagi Esaiku, meski tidak serius, meski agak tidak nyaman. Dan meski hanya purapura baca! :D. Kupasang senyum kemunafikan kesemua orang agar dikira aku tenangtenang saja, aku berlagak santai biar di kira tidak grogi, pendek kata, aku purapura tampil dinamis agar di sangka tidak pesimis. Hahahahhaaa


****

Barangkali acara Launching kali itu tidak semewah pesta keluarga cendana, tidak seistimewa rapat parlemen di gedung senayan, tidak semencekam pertemuan para mafia di hotel Schudlle Homestay, tidak semeriah hajatan di keraton. Namun, jika boleh jujur meski agak Lebay, acara Launching waktu itu justru sampai kiamat kurang seminggu pun akan terus terkenang, sungguh, kenangan yang aku tidak rela jika harus di lalaikan begitu saja.

Semula kupastikan penulis yang hadir hanya 5 saja, namun tibatiba ketika kulihat dari lantai dua ning nabilah keluar dari mobil bersama umi-nya. Padahal sebelumnya tidak mengabari terlebih dahulu jika hendak hadir, Saat itu pula aku masuk ruang yang akan menjadi sejarah baru bagiku. Sejarah bersama sahabat-sahabatku itu, aku sadar bahwa saat itu aku merasa acara ini akan menjadi sebuah memorandum, kali itu aku sudah bisa sepenuhnya sadar, bahwa Launching yang dulu kuhayalkan sudah tidak menjadi halusinasi, bahwa Bedah Buku yang dulu hanya sebuah angan kini sudah nyata.waktu itu  Ada semacam perasaan bahagia campur haru. Kulihat satu-satu sahabat-sahabatku itu. yu nurul farida sedang asyik berbincang dengan ning devi, kulihat pula ning ochi sibuk melihat layar hapenya, ning nabilah lagi masuk ruang dan duduk di kursi nomor dua dari depan, dan gus hasan sedang sibuk memotret apa saja.

Waktu itu aku masih tidak percaya jika acara kali itu benar-benar terselenggara, aku hanya mampu diam dan memandang X-Banner itu, lama aku terdiam.saking grogine! Hahahaa. Sebab aku kurang terlalu siap untuk tampil sebagai penulis yang mewakili season presentase maka Aku mendatangi tempat yu nurul  dan ning devi duduk dalam rangka menawarkan barangkali berkenan presentase namun seperti yang kusangka sebelumnya, hanya ada jawaban ‘’emmoooohh’’ :D. Giliran ning nabilah kulobi untuk presentase, juga sama dugaanku. Apalagi ning ochi, belum sempat aku ngomong sudah menunjukkan wajah tidak mau :D. Nampaknya aku akan menggunakan jurus andalanku untuk presentase, seperti biasa: Nekat. Aku tampil bukan karena aku yang paling lihai bercakap, namun karena Dzorurot. :D
Dada tempat menampung paruparuku kian nyaring berdegap, kok seumpama michropon di taruh meski berjarak 50 centi saja di depan dadaku mungkin akan terdengar bagaimana bergetarnya jantungku. Hahahahaa.....

Masih kudengar lagunya Nancy Ajram ‘’hobak leya’’ bergaung di ruang aula itu, kulihat ning devi dan yu nurul tertawa melihat tingkahku ketika aku ikut menyanyikannya :D, aula mulai penuh dengan pengunjung, kebanyakan mahasiswa. Tibatiba Ada orang yang menghampiriku dan lalu duduk di sebelahku, dia memperkenalkan dirinya sebagai moderator dalam acara ini. selanjutya  Dia menyodorkan selembar kertas untuk di isi biodataku.


Dalam acara pagi itu, Ada pengunjung yang kukenal secara pribadi, beliau-beliau berangkat atas nama guru sekaligus pecinta sastra. Seperti gus mujab, jauh-jauh dari kudus hanya hendak menghadiri acara launching. Kang hasyim, berangkat dari tuban, beliau di beri mandat oleh umy qur untuk mewakili ketidakrawuhannya, kebetulan kang hasyim ini juga pelaku seni.  Dan bunyai muawanah, rela merentangkan waktunya untuk mengambil posisi di kursi paling depan hanya ingin mlihat kami tampil, lalu bunyai azza, yang kerso rawuh bahkan dengan putri dan santrinya. Kehadiran beliau-beliau ini seakan melecutkan mentalku yang sebelumnya agak down. Secara otomatis Nekatku untuk maju dalam presentase kian menjadi kekuatan untuk tampil. Pendek kata, aku terlampau siap. :D


****



Pagi itu menunjukkan jam 10, mundur 1 jam dari waktu yang sudah di tetapkan. wajar, indonesia banget. :D. Sesaat sebelum acara di mulai, kulihat gus reza rawuh dan menempati kursi paling depan di sebrangku, membuatku tidak bisa berkutik. Dan mas nurel yang sudah hadir sekitar 15 menit sebelumnya duduk tepat di sisi kiriku. MC pembawa acara mulai maju dan duduk di tempat yang sudah di sediakan oleh panitia. Dia mengawali acara itu dengan pembukaan : Al-fatihah. Sesaat seluruh ruang hening.
Kemudian season selanjutnya di teruskan oleh gus reza. Dalam pembukaanya beliau mengatakan: ketika santri menulis, ketika tulisannya dikaitkan dengan pesantren, tentu saja mengangkat citra pesantren. mengembalikan pada tradisi lama pesantren. karena sesungguhnya pelajaran utama dari Rasul adalah menulis.
Alqur'an dulunya ditulis tanpa titik, kemudian diperbarui dengan adanya titik, harokat, ilmu tajwid dan seterusnya, yang semuanya dimulai dengan proses tulisan.
Kejayaan Islam, kejayaan peradaban juga karena tulisan para ulama'. Jadi salah kalau kita sampai meninggalkan tradisi kreasi/menulis.
Kenapa jadzab?
Karena karakter santri setiap saat memang harusnya jadzab. majdzub, ditarik oleh Allah. dia tidak tahu akan ke mana, seakan tidak sadar, tapi yang dikatakannya itu dari Allah.
harapannya, penulis -penulis ini teruslah jadzab agar tidak jauh dari Allah dan ilham dalam berkreasi senantiasa dari Allah.
Penutup acara sebelum Launching benar-benar di mulai yaitu doa. Yang di pimpin oleh wakil rektor. Namanya siaapaaaaaaa gitu :D


Jam sudah menunjukkan pukul  10-45. Kian hangat suasana pagi itu membuat tenggorokanku ingin di siram kopi, tentu akan menjadi sebuah kedigdayaan tersendiri jika sebelumnya sela ronggaku basah oleh cairan hitam yang wujudnya adalah kopi :D. Kulihat moderator sudah menempati kursi menghadap Audiens. Lalu di sela riuh rendah suara di ruang itu moderator melancarkan statemen. Pertama mengumumkan biodataku yang sebelumnya aku di paksa untuk mengisinya :D, juga kepada mas nurel, biodatanya di paparkan secara singkat. Waktu itu, masih sempat kulihat papan nama di atas meja tempat nanti aku presentase. Paling kiri: moderator. Tengah: penulis. Dan pembanding. Sesaat kemudian Moderator mempersilahkan seseorang untuk maju guna memimpin berjalannya lagu kebangsaan, lagu indonesia raya. Kulihat suasana di gedung Aula Pasca Sarjana itu mendadak sunyi, sesunyi mataku menatap entah. Ketika lagu kebangsaan sudah di gaungkan serentak sekitar 200 pengunjung ikut hanyut dalam rasa ke-nasionalisme. Masing-masing. Ketika sampai pada liryc bangunlah jiwanya, bangunlah badannya mendadak aku lupa. akhirnya, angger melu mangap, gremeng-gremeng sitik ben di kiro hapal. Hahahaha...meminjam istilahnya Roma Irama: THERLAALUUH :D.....dan ternyata itu juga terjadi kepada nyai muawanah, beliau mengaku tidak hafal, terakhir kali beliau melagukan lagu kebangsaan itu saat sekolah dasar, berarti sudah mungkin sekitar 50 tahun.:D.. Itu masih mending, kalau aku? Sungguh tidak bisa di maafkan. Sampai aku membayangkan jika ketahuan FPI barangkali akan di anggap tindak kriminal, dengan dasar tidak menghormati bangsa Indonesia :D. Sebuah dilema muncul di dalam diriku justru ketika seluruh ruang sedang khidmat melantunkan Lagu Kebangsan. :D


Sampai pada saatnya namaku di panggil. Kau tahu apa yang terjadi saat itu? Awakku pating ndredeg. Hahahahaa. Sebelum aku maju, aku berdiri sambil melihat sahabat-sahabatku, ingin memastikan bahwa sahabat-sahabatku itu benar-benar mengizini aku dalam presentase :D. Kulihat yu nurul dan ning devi yang duduknya berjejeran menahan tawanya Melihat aku salah tingkah :D, ning nabilah senyum sambil menganggukkan kepalanya. Dan ning ochi, mimiknya terlihat lirih berkata ‘’monggo’’ :D.


Ketika aku sudah berada di depan, sambil menunggu moderator selesai memaparkan muqodimahnya, kulihat ada seseorang maju ke arahku. Membawa kopi dan dua bungkus Dji Sam Soe. Asoooii....jimatku datang. Bisik hatiku kegirangan :D. Seperti tiap aku hendak pidato di depan santri, selalu aku tak lupa membaca Al-fatihah. Sebab darinya memunculkan kekuatan gaib yang akan menuntunku kala aku bicara nanti. Hehe...


Kali itu aku sudah tidak peduli dengan titelku yang hanya lulusan MI, aku sudah tidak mau tahu jika penampilanku yang tidak mengancingkan kancing baju di anggap kampungan. Dan aku sadar, kali itu aku di depan mahasiswa, aku berada di tengah-tengah para Vocal ulung. Andaisaja waktu itu kopinya tak kunjung datang, barangkali aku sudah terdiam padam. Seperti batu mulutku kelu :D. Berangkat dari kesadaranku dengan berbagai kekuranganku. Aku berbicara menggunakan bahasa ilmiyah, sebab jika terlalu terpancang pada tekstual maka yang terjadi adalah kerancauan Hak berpikirku. Itulah sebab mengapa aku agak sungkan menjelaskan terlalu jauh perihal definisi Jadzab itu sendiri, justru yang kutekankan waktu itu adalah muasal sastra pesantren.


Kataku waktu itu, bahwa sastra pesantren sebetulnya sudah mewabah sejak kali pertama Islam masuk ke ranah jawa, jauh sebelum wali songo terbentuk. Yaitu ketika syaikh maulana maghribi masuk jawa. Bahkan jika kita berkenan me-replay sejenak, betapa kita akan mengerti bahwa justru kehidupan sehari-hari di dalam pesantren adalah bermuatan sastra, kita bisa lihat, kali pertama yang di ajarkan di dalam pesantren adalah sastra. Semisal jurumiyah. yang susunan hurufnya berbentuk prosa( kalam nasar ), belum lagi ketika naik ke tingkat selanjutnya, imriti( berbentuk syair ). Alfiyah bahkan uqudul juman. Semua itu berbentuk gramatikal sastra. Kita di ajari bagaimana cara menyusun kata-kata yang benar, di ajari bagaimana menciptakan frasa yang indah. Itu di dalam pesantren

 
Lanjutku masih dalam keadaan menggebu-gebu meski grogi, kita bisa lihat, ronggo warsito. Penyair paling melegenda di ranah jawa dalam sastra pesantren, Ia menimba ilmu kepada kyai hasan besyari. Yang belum lama ini, bagaimana kyai hamid pasuruan. Menyusun syair bertema Adab. Kyai Hasyim tebuireng. Menciptakan Diwan Asy’ari, jauh sebelum beliau, ada sekumpulan prosa yang di tulis syaikh Ja’far Assyahir di dalam Barzanji-nya, bahkan sampai saat ini seakan menjadi ritual tetap tiap malam jum’at. Apalagi Imam Busyiri dengan puisi maha indah dalam Burdah-nya. Bahkan, yang paling kekinian, yang kita sudah mengenal betul. Satu di antara sekian banyak nama populer kepesantrenannya. Gus mus, zawawi imron dari madura. Dan gus acep Zamzami Nor dari tasikmalaya. Beliau-beliau lahir dan di besarkan di pesantren.

 
Di dalam kesempatan kali itu, aku mengutip hadis yang kuambil dari kitab sunan Tirmidzi. Tentang sahabat yang bertanya kepada sayidah aisyah: sahabat bertanya apakah pernah kanjeng nabi membaca puisi? Pernah, kanjeng nabi pernah melantunkan syairnya Ibnu Rawahah. Jawab Sayyidah Aisyah. Bahkan pernah kanjeng nabi memberi penghargaan kepada sahabat ka’ab Bin Zuhair selepas membaca puisi di depan bani su’ad. Juga pernah bahwa kanjeng nabi bersabda: Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh penyair adalah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah adalah bathil (rusak dan binasa)”. Tidak Sampai di situ, saat perang khondak sedang berlangsung kanjeng nabi bahkan sempat melantunkan puisi dua baris dalam bentuk Bahr Rojaz. Berarti itu menunjukkan bahwa dunia per-puisian sudah ada sejak zaman-nya kanjeng nabi, bahkan begitu pentingnya puisi sehingga di salah satu surat Al-Quran ada yang di namakan Asyyuro’ (para penyair) aku masih melanjutkan presentasi, kupaparkan secara ilmiyah bahwa sebetulnya di pesantren banyak sekali penyair yang dalam panggung kesastraan indonesia masih tersembunyi atau bahkan belum muncul. Itulah mengapa, Antologi ini barangkali bisa di harapkan menjadi awal dari sederet Antologi pesantren lainnya, meski dalam ranah yang berbeda.

 Lanjutku. Dan terbitnya Antologi Jadzab ini, semata hanya mengikuti jejak leluhur para pendahulu, sebab barangkali dengan Ittiba’ kepada Ulama’ terdahulu, melalui Antologi ini, kami bisa mencecap berkah darinya. Kultur ke-sastraan yang sudah sekian lama berjalan di alam pesantren, Suasana kian memanas ketika memasuki sesi tanya-jawab. Seingatku ada 8 pertanyaan yang kesemuaanya di lontarkan oleh pria. Aku masih ingat ketika ada salah satu pertanyaan tentang kenapa harus di namakan JADZAB? Aku berfikir sejenak lalu menjawab sekenaku ‘’ kalau dengan jadzab pun saya tidak bisa menjumpai hatimu, dengan airmata mana lagi harus kuketuk hatimu’’. Kudengar jawabanku itu mengundang tawa kecil :D. Lalu aku agak kaget ketika salah satu pertanyaan di jawab oleh mas nurel dengan nada agak tinggi. Mas nurel menantang orang yang pertanyaannya agak menyudutkan dengan tantangan menulis, mas nurel bilang kalau tulisanmu lebih bagus ketimbang aku, aku berani membiayai penerbitan bukumu seluruhnya! Ngeri .....:D.

 
Di tengah mas nurel membaca Esainya dari laptop untuk menjelaskan sebagian presepsi mengenai buku Jadzab, aku mulai agak santai. Sambil menyulut Dji sam soe kupandangi satu-satu sahabatku lagi. Mereka seakan mengirimkan santet berbentuk kata-kata magis untuk jawabanku selanjutnya, aku melihat di antara sahabat-sahabatku seakan sedang memegang jemparing yang lalu dengan bahasa intelek sebagai anak panahnya di lesakkan ke dalam otakku :D. Kudengar dari Audiens bertanya: aku melihat di dalam dunia sastra indonesia pesantren kurang mendapat tempat di media di antara mereka. Bagaimana anda menyikapinya? Kuhisap rorokku terlebih dahulu sebelum akhirnya kujawab begini: kalau menurutku, kesuksesan dalam menulis tidak bisa di nilai secara mutlak oleh sering atau tidaknya di ekspos media. Kalaupun iya, barangkali media itu sendiri yang kurang informasi dan data tentang sastra pesantren. Atau, memang gerak santri untuk ingin mengirimkan naskah ke media terbentur oleh peraturan pondok yang ketat. Bisa jadi begitu. Sebab. Lepas dari itu semua, santri secara jujur memiliki potensi untuk ber-sastra. Namun ruang yang terbatas untuk ber-ekspresi bebas agaknya terkendala dengan berbagai Hal yang bersifat Hedonistic Sekularisme.

 
Padahal waktu itu, aku sudah berlagak untuk tidak terlihat grogi, namun ya begitu. Sak pinter-pintere gajah mencolot akhire yo ndlosor :D. Kudengar mas nurel berbisik pelan sambil menahan senyum khasnya: ojo grogi, santai wae. Hahahahahaa. Mungkin kendedeg-kanku juga terlihat oleh seluruh Audiens :D. Bagaimanapun juga, sebetulnya aku tidak pandai berpura-pura. Namun demi kemaslahatan terpaksa kubuat jurus. Dan ternyata kepura-puraanku untuk terlihat santai masuk dalam kategori produk gagal. Hahahhahaha

 Yang mengejutkan, di tengah kian panasnya acara dialog siang itu, tibatiba muncul seorang pria yang mengacungkan jarinya demi di persilahkan moderator untuk berbicara, semula aku fikir akan bertanya seperti Audiens lainnya, namun justru pria itu yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai ketua dewan kesenian kediri ingin membacakan salah satu puisi yang di tulis oleh Ning Ochi. Kalau tidak salah yang di baca beliau waktu itu yang berjudul asa membiru. Begitu semangatnya beliau membaca puisi itu, dengan nada agak sendu seperti pria yang sedang merayu gadis pujaanya. Yeaaaaaahhh.....:D. Sebelum beliau meng-akhirinya, sempat terlontar kata yang entah itu sungguhan atau main-main atau bahkan ungkapan yang selama itu terpendam i love you ning ochi....Mbooiiiss nian bukan? :D ( untuk ning ochi :P :P :P )

 
Pada kesempatan terakhir bagi Audiens untuk bertanya, justru tidak bersifat tanya. Namun dari Audiens ingin melihat kami tampil membaca puisi, sebab kata mereka. Janganjangan hanya bisa menulis puisi tanpa bisa membaca? Kecurigaan Audiens itulah yang memunculkan statemenku bahwa kami akan menjawab dengan sepenuh keyakinan kalau kami nanti akan membaca puisi di penghujung acara. Waktu itu kegaranganku mulai tampak. Hahahahaha

Sampai pada acara yang terakhir. Pembacaan puisi oleh tiap penulis dengan masing-masing puisinya., dalam pada itu, yang hadir sebagai penulis ada Enam. Barangkali season inilah yang paling menarik perhatian, kurasakan aroma hening sudah mulai menyeruak ke seluruh ruang ketika kupanggil satu-satu nama sahabatku untuk maju ke depan.

 
Pertama kali yang tampil untuk membaca puisi adalah aku, sebelum kumulai membaca, kuawali dengan sejarah singkat tentang terciptanya puisi Jadzab. Aku masih ingat betul, puisi Jadzab kutulis pada tanggal 2 january tahun 2009. Saat itu, aku mendengar cerita tentang seorang waly yang hidup di pasar kendal. Oleh masyarakat, beliau sudah masyhur di anggap sebagai orang gila. Sehingga pada saatnya, kyai hamid pasuruan membongkar ke-wali-annya. Namun kali ini aku hendak mempersembahkan kepada kyai Fanani yang bermukim di atas bebatu besar di gunung Dieng Wonosobo. Kataku waktu itu. Seperti biasa, aku membaca puisi dengan gaya khasku sebagai Usman Arrumy, dalam intonasi instrument yang sendu menambah suasana kian hanyut, bagiku. Entah yang lain. Pada saat itu, aku benar-benar merasakan kehadiran seorang Jadzab, yang tetap tak bergeming sekalipun terasing. Iya. Waly di pasar kendal itu seakan rawuh dengan melempar senyum ke ruang Aula itu, pagi itu, adalah momen terindah sepanjang tahun 2012. Di samping untuk kali pertama puisi Jadzab kubacakan dalam acara resmi, juga sebagai awal di mana aku betul-betul bisa hanyut dalam pembacaan puisi. Andaisaja waktu itu moderator memberikan kesempatan untuk membaca puisi lagi :D

 Gus hasan, orang kedua yang tampil ke depan untuk membaca puisi, Ia begitu santai, begitu rilex ketika membaca. Dengan puisinya yang berjudul Untukmu, Muh!.  Aku merasakan kepolosan dalam berpuisi ada di dalam gus hasan. Sangat tenang, keluguannya ketika membaca itulah yang membikin suasana seakan sedang melihat dan mendengar penuturan paling jujur. Tidak begitu saja, namun nada dari frasa yang terolah rapi itu ternyata di imbangi oleh pembacaan yang sangat sesuatu. Luapan rindu untuk seorang teman yang meninggal terlalu dini itu di tampilkan gus hasan dengan ciri khas-nya.

 
Selanjutnya, giliran yu Nurul Farida. Barangkali ia sudah terbiasa dengan pagelaran semacam pembacaan puisi, itu terlihat dari ketenangannnya sekaligus penghayatan secara nyata. Puisi berjudul Eling Sliramu, yang di bacakan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Ada kemungkinan yang terjadi ketika mendengar yu Nurul membaca, hususnya pagi itu. Antara ora paham dan tibatiba kagum. :D. Sekalipun aku sendiri orang jawa, namun melihat diksi dan idiom yang di gunakan sungguh terasa sangat asing di telinga, namun di situlah kehebatannya. Ora mudeng nanging gumun. Mungkin tidak aku saja yang mengalami  perasaan semacam itu. Hehe

Kali ini ning devi sarah, kalau ini aku sudah tidak heran jika pembacaan puisinya begitu Mbooiisss..aku yakin, pagi itu, barangkali sudah kesekian kalinya ning devi membaca puisi. Jadi sangat wajar jika gaung-nya mendebarkan. Satu hal yang aku tangkap dari ketika ning devi membaca puisi, gerak-geriknya itu loh, baru kali pertama  itu aku lihat model bahasa tubuh yang sulit di nalar jika seandainya di anggap jelek, itulah sebabnya, khas seorang ning devi tampak sebagai gadis yang berupaya menampilkan seluruh perasaannya. Aku melihat Ia berpuisi dengan mengikuti gaya kekinian, dan selayaknya memang begitu. Dengan puisi yang berjudul Dunia Akan ia mencoba membuat harapan dengan kepastian.

Dan ning Ochi. Semula aku mengira ia tidak berkenan ikut membaca, namun dugaanku itu di jawab dengan pembacaan yang sendu, sendu sekali. Merindu Dalam Bisu. Judul puisi dari ning Ochi, ia baca dengan sepenuh rindu kepada Entah. Aku mengira teruntuk abah-nya. Ada yang tiba-tiba ingin bencah dari mataku di tengah Ia membaca puisi itu, aku sempat melirik bahwa ternyata tidak hanya aku, hampir seluruh yang dengan khusuk berada di ruang Aula itu di bikin matanya lebam, mungkin merah, dan akhirnya leleh. Nyai muawanah bahkan mengaku tangis yang sudah di tahan sejak awal akhirnya tak mampu d bendung ketika ning Ochi membaca, dan nyai Azza juga demikian, beliau mengaku berkalikali airmatanya jatuh. Aku mendengar sendiri dari pernyataan gus mujab selepas acara bahwa pembacaan puisi dari ning Ochi seratus kali lebih mendebarkan ketimbang peserta juara satu lomba baca puisi di Jateng. 

Terakhir yaitu ning nabilah, sesaat sebelum Ia membaca puisi Ia mngisahkan bahwa beberapa hari yang lalu ibu baru ulang tahun,  ia kirimkan Buku Jadzab sebagai kado ulang tahun ibu-nya. Dan ia sempat bilang sambil masih memegang buku Jadzab: ‘’ibu, buku ini yang terbaik yang pernah aku punya saat ini, dan kupersembahkan kepada ibu’’. sungguh betapa seorang aku yang seingatku tidak pernah merasakan haru yang seperti waktu itu. Aku harus mengaku, sebetulnya aku hampir nangis, namun malu akhirnya ya tidak jadi. Hahahahahaa...Dan entah ibu pernah menulis puisi atau tidak, sehari setelah aku kirim buku Jadzab kepada ibu, ibu sms dengan menggunakan puisi.  Demikian penuturan ning nabilah. Di dalam pembacaan puisi waktu itu, justru ning nabilah membaca puisi yang di kirimkan ibunya lewat sms. Sebagai persembahan terindah untuk sang ibu, begini puisinya:
Bela cantikku
ketika garis-garis keriput menggurat di wajah ibu
gigi tak lagi lengkap, kendur di pipi, lengan badan dan paha.
mata tak bisa lagi baca tanpa kacamata
otak ibu juga tak secerdas dulu
berkreasi, berfikir dan bergelut dengan wacana baru
satu demi satu penyakit hinggap di tubuh yang tak sekekar dulu
mulai ubun-ubun hingga kaki
lutut ibu kaku jika bersimpuh
perut keroncongan tak lagi kuat puasa sunnah
kepala juga terasa berat ketika bekerja
inikah ketentuan?
inikah tanda bahwa ibu harus banyak istirahat?
tak mungkin!
di luar sana anak-anak asuh menunggu
menunggu uluran tangan ibu
ibu sentuh mereka dengan sisa energi ini
ibu tak mau tua apalagi renta
tapi bagaimana lagi sunnah Allah pasti di lalui
ibu berharap perjuangan tidak berhenti
berharap dari kamu-kamu kader sejati untuk pesantren ini.      .

seperti halnya aku, nyai muawanah, nyai azzah dan nyai Umdah sendiri sebagai ibunya ning nabilah luruh dalam gemuruh tangis, seperti sunami aceh beberapa waktu lalu. Namun ternyata tidak sampai di situ, kang hasyim sendiri, yang aku yakin Ia berjiwa tahan tangis, sempat kulirik. Memerah matanya menyaksikan ning nabilah, entah keharuan macam apa lagi yang layak untuk mewakili tangis peserta siang itu, jujur saja. Puisi yang di baca ning nabilah itu sebenarnya sederhana namun begitu bertenaga. Dan aku lihat, ning bibah dan ning nada yang pada siang itu turut menyaksikan bagaimana sendunya ning nabilah membaca juga menangis. Jika seandainya aku gadis, mungkin tangisku paling hebat di ruang itu. Hahahahahaha....



6. mei 2012 Demak.







0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +