Demo = Sekolah Libur


 :Usman Arrumy

Kita hidup di zaman yang oleh Ahmad Syawqi, penyair Mesir itu, menyebutnya bagai di antara dua sisi; yaitu kecemasan dan kebahagiaan. Selalu, di balik kecemasan ada benih kebahagiaan . Mengingat dan Melupakan adalah dua sisi yang paralel dengan dua sisi itu. Mengingat, itu artinya ada upaya untuk menafsirkan masa lalu, mereka yang kembali menengok masa silam, adalah mereka yang telah terperangkap kerinduan untuk masa depan.

Maka Melupakan adalah semacam gugatan untuk hari ini yang tak menyenangkan. Mungkin itu sebabnya, melupakan adalah aksi represif yang dihidupkan untuk menciptakan suasana yang klise.

Demonstrasi yang terjadi siang tadi di kampus al-Azhar Hay Sadis (4/6/2014) Sehingga menyebabkan kelas diliburkan, adalah bentuk representasi dari kecemasan. Mereka yang mengajar dikelas merasa cemas pada muridnya karena hal yang sebenarnya sudah biasa terjadi; Demo. Para muridnya yang sudah niat dari rumah, berangkat dan menyaksikan demonstran di dalam kampus juga ikut cemas. Tapi saya mempunyai pemahaman lain tentang cemas pada posisi itu, dengan kata lain, cemas tak bisa didefinisikan pada dua poros yang berdiri dalam sektor yang berbeda.

Artinya, mereka yang mengajar meresa cemas dengan arti yang sesungguhnya, cemas pada muridnya kalau terjebak dan terseret oleh aksi demonstrasi, sementara para muridnya, kecemasannya mengandung paradoksal, cemas yang punya potensi untuk bahagia. Pendeknya, demo yang terjadi siang tadi adalah kebahagiaan yang dinanti oleh sebagian besar para murid, karena dengan itu kelas diliburkan. Dan libur adalah sinonim dengan bagaimana ketika kita Melupakan.

Aksi demo yang terjadi siang tadi oleh pelaku yang sama ketika mereka demo dalam peristiwa Rob'ah beberapa bulan lalu, sebenarnya hanya satu seper-sekian percikan dari kebakaran yang apinya  membakar hampir sebagian besar sudut-sudut di Mesir; membakar revolusi, membakar kedamaian, membakar tujuan. Mereka mengingat masa lalu, mungkin itu sebabnya mereka menggugat sampai hari ini, tindakan menggugat adalah penyampaian lain tentang kemarahan, ekspreksi tentang ketidak-puasan terhadap keadaan yang tak mendukung pihaknya. Saya jadi menduga-duga bahwa nasionalisme yang tertanam dalam diri mereka yang demo, sudah melampaui dirinya sendiri. Di lain pihak, ketika mereka yang demo ingin merebut keadilan--menurut versinya sendiri, ada yang merasa dirugikan. Yaitu mereka yang sudah niat untuk belajar.

Mungkin mereka yang berangkat dari rumah untuk belajar dan ternyata libur karena demo akan kecewa, tapi kekecewaan itu adalah benih kebahagiaan. Maka ketika para Doktor yang mengajar menyuruh muridnya untuk pulang karena cemas, sebenarnya itu tak betul-betul dipahami muridnya sebagai kecemasan. Tapi di balik itu semua, kecemasan gurunya ditafsirkan sebagai benih kebahagiaan. 

Ada suatu masa ketika murid menyaksikan demo sebagai jalan keluar untuk memuaskan keinginannya sendiri, ada lagi masa lain ketika kecemasan para guru disambut riang oleh murid-muridnya. Masa-masa seperti itu nampaknya akan terulang lagi setiap kali ada ''mereka'' yang menggugat masa lalu dengan cara unjuk rasa.

Akhirnya, melupakan adalah cara terbaik untuk membenamkan ingatan ke dalam kebekuan, sebagaimana kebahagiaan pada hari ketika kelas diliburkan.

16 April 2014, Mesir.

0 komentar

[MAKLUMAT] Buku puisi Mantra Asmara x - +