Jika ada sesuatu yang serius yang perlu saya syukuri, mungkin itu adalah karena saya dapat mengunjungi kafe el-Fishawy. Dari sana aku mendapat kepercayaan bahwa di antara kafe, sejarah dan sastra saling terhubung. Dari sana pula aku mendapat pengertian baru tentang bagaimana cara menerjemahkan kesunyian ke dalam sesuatu yang bernama karunia.
Tapi apa yang istimewa dari el-Fishawy? Kita tahu, dari tata ruang dan modif konstruksinya tak ada yang menunjukkan bahwa el-Fishawy adalah kafe mewah. Terlebih letaknya yang tak strategis. Barangkali el-Fishawy telah menyimpan sekaligus menjadi saksi revolusi Mesir. Mungkin itu sebabnya el-Fishawy mendapat perhatian khusus dari sejarah Mesir.
Pada mulanya ia bernama Al-Bashvor, sebuah kedai yang dirintis oleh Muhammad Abdul Wahab, salah satu ketua marga di keluarga el-Fishawy. Pada tahun 1710 Al-Bashvor memulai aktivitasnya. Disebutkan dalam buku ' ''وصف مصر''-- Deskripsi Mesir, sekitar tahun tersebut, saat Perancis menjajah Mesir, Napoleon Bonaparte beserta tentara perangnya sempat mengunjungi kafe ini, sebab, tertulis dalam buku itu, Napoleon terpikat oleh tempatnya yang artistik. Saat itu persis di akhir era dinasti Mamluk.
Baru pada tahun 1797, Al-Bashvor ganti nama menjadi el-Fishawy-- nama yang diambil dari sebuah marga keluarga besar itu. Jadi, Al-Bashfor menjadi cikal-bakal dari berdirinya kafe el-Fishawy. Pada tahun itu pula Haji Ali Fahmi mengambil alih peran sebagai pendiri kafe el-Fishawy. Tepatnya pada era pemerintahan Ottoman.
el-Fishawy terletak di dalam Khan Khalili, pasar tradisional terbesar di Timur Tengah pada abad 18, kawasan itu dibangun oleh seorang amir bernama Djaharks el-Khalili, pada tahun 1382. Di sampingnya pelataran masjid Hussein, masjid yang di dalamnya, diyakini ada kepalanya Sayyidina Hussein, itu dibangun tahun 972 M oleh Jawhar Saqali, seorang jenderal Daulah Fathimiyah, dan berjarak dua ratusan meter dari Univ. Al-Azhar. Universitas tertua itu.
Bagi rakyat Mesir, 9 MAret 1919 adalah tahun keramat, pada tahun itulah Mesir mengalami gejolak revolusi besar menentang Inggris di Cairo. Saad Zaghlul, yang menjadi pemimpin bagi rakyat Mesir yang sebelumnya ditangkap akhirnya dilepaskan. Dan el-Fishawy, dalam revolusi tersebut punya fungsi dan sumbangsih besar terhadap keberhasilan rakyat Mesir. Sebab, el-Fishawy menjadi sumber informasi untuk menggalang kekuatan melawan Inggris. Sastrawan kenamaan Mesir, Hafidz Ibrahim, menulis dalam bukunya
al-Shal b wa al-Hil l (Salib dan Bulan Sabit), jelang revolusi Mesir, 1919, el-Fishawy menjadi tempat rahasia untuk mempertemukan delegasi Koptik Kristen dan ulama Al-Azhar. Di situlah mereka menyusun strategi kolektiv untuk menghadapi revolusi.
Pada September 1939, saat Perang Dunia II dimulai, el-Fishawy menjadi tempat persembunyian. Sebab saat itu hanya el-fishawy yang berani buka. Sejak tahun itu sampai Juli 1952 para elite polotik berkumpul di el-Fishawy setiap malam untuk menyiapkan kemerdekaannya. Gamal Abdel Naser, yang menjadi perwira saat itu mendirikan Dhubbath Al-Ahrar ( Dewan Jendral), Konon, gagasannya saat ia berkumpul di el-Fishawy. Sampai Jenderal Muhammad Naguib, yang akhirnya menjadi Presiden pertama Mesir, sebelumnya ikut bertukar gagasan di el-Fishawy.
Sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin menulis dalam salah satu karya terpentingnya
"Ayyam laha Tarikh" (Hari-hari yang Memiliki Sejarah): Revolusi 1919 yang dahsyat ternyata berasal dari pojok kafe sederhana. Kafe ternyata memiliki kekuatan untuk mengubah jalan sejarah.
el-Fishawy mempunyai tiga ruang, masing-masing mempunyai nama sendiri.
Pertama, bernama Al-Bashfor-- "صالة الباسفور", ruang ini selain dibuat untuk menyambut tamu penting dari para elite Mesir, juga didedikasikan untuk raja Farouk I. Ruang tersebut mulai bernama Al-Bashfor sejak tahun 1920. Nama itu diambil untuk menghargai kafe Al-Bashfor sebagai cikal-bakal el-Fishawy. Ruang Al-Bashfor disusun dengan lapisan kayu balapnos, di sudutnya terpampang barang-barang antik yang terbuat dari perak.
Ruang itulah yang menjadi tempat Naguib Mahfoudz-- peraih nobel sastra tahun 1988 itu, menjaring ilham untuk menulis. Konon, Naguib Mahfoudz mulai membentuk pola dan karakter menulisnya di el-Fishawy, di ruang Al-Bashfor inilah Naguib Mahfoudz menulis empat karya monumentalnya--- yaitu
Khan Khalili, al-Bidayah wa al-Nihayah, Awlad Haratina, Zuqaq al- Miqdad . Sehingga dengan itu, Al-Bashfor ini, berkat Naguib Mahfoudz, mempunyai nama lain; Rakn Naguib. (Pojok Naguib).
Di dinding pada ruang Al-Bashfor terpampang potret Naguib Mahfoudz, di sampingnya ada potret Amr Musa, Sekjen Liga Arab. Di ruang inilah sederet tanda tangan tokoh-tokoh besar digantung di dalam pigura. Sebut saja di antaranya: Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad 'Abduh, Saa'ad Zaghlul, Mustafa Kamil, Abbas Mahmud Akkad, Ahmad Amin, Thaha Husein, dan Ahmad Syauqi.
Belum lagi jika menengok di daftar buku pengunjung, di sana ada begitu banyak catatan di mana ruang Al-Bashfor ini menjadi tempat diskusi yang hangat: musisi Mesir ternama Muhammad 'Abdul Wahab, penyanyi legendaris Umm Kultsum, penyair Ahmad Rami, dan tokoh-tokoh Revolusi 1952: Muhammad Naguib, presiden pertama Mesir, Gamal Abd Naser, serta Anwar Sadat. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Presiden Sudan, Jaafar Nimeiri, Presiden Aljazair Abdel Aziz Bouteflika.
Pada tahun 1869, ratu Perancis, Eugenie, mengunjungi kafe el-Fishawy saat berkunjung ke Mesir untuk menghadiri pembukaan Terusan Suez yang diselenggarakan oleh Khedive Ismail.
Salah satu tanda tangan yang diabadikan dan digantung dalam figura sendiri adalah miliknya Naguib Mahfoudz: لأرضي الحبيبة تحيات المحبة ,مقهى الفيشاوي, والله يديم عمره والناس الذين جاءوا لزيارة. وتفضلوا بقبول فائق الاحترام، نجيب محفوظ 23/12/1982
"Salam penuh cinta untuk tanahku tercinta, Kafe El-Fishawi. Semoga Allah mengabadikan usianya dan orang-orang yang datang mengunjunginya. Salam hormat, Naguib Mahfouz 23/12/1982."
"Novel-novel karyaku tak bisa aku tulis kecuali di atas meja, baik di rumah maupun di kantor," tulis Naguib. "Tapi aku sering mencari ide dan alur cerita novel sewaktu duduk-duduk di kafe, kemudian aku menulisnya sewaktu pulang." Kafe yang paling banyak memberiku ilham, ide, dan alur cerita karya-karyanya adalah Kafe El-Fishawy." Dan sudah disinggung di awal, Al-Bahsfor menjadi tempat untuk menemukan ide. Menurut Amu Abul Khoir, ketua pelaksana di el-Fishawy, sewaktu Naguib Mahfoudz masih sering mengunjungi kafe ini, ruang Al-Bashfor seakan-akan menjadi ruang pribadinya, dan tak ada yang boleh memasukinya kecuali sudah larut malam dan itu pun jika kebetulan Naguib Mahfoudz sudah pulang.
Ruang kedua bernama صالة التحفة مخصصه للفنانين .---Ruang Karya khusus bagi para Seniman. Di situ ada sofa yang dibuat dari gading arabesque.
Ruang ketiga bernama صالةالقافيه.--- Ruang Sajak. Paruh pertama dari abad 20, setiap malam Jum'at, ruang sajak ini digunakan untuk adu kemahiran, masing-masing golongan menyodorkan waklinya yang cerdas dan tangkas untuk bersaing dalam soal apa saja sesuai dengan permainan yang telah disepakati.
Tapi sekarang, fungsi ketiga ruang tersebut sama bagi semua pengunjung, kecuali mereka yang sadar bahwa di setiap sudutnya masih ada sisa denyut revolusi.
Menurut Dr. Ziaa el-Fishawy, penerus ketujuh dari kafe Elfishawy, lebar kafe el-Fishawy dulunya sekitar 400 meter, dan terletak paling mencolok di pelataran masjid Hussein, Tapi sedikit demi sedikit tanahnya dibeli untuk rumah makan dan kafe-kafe baru sehingga kini tertutup olehnya. Pada bulan Ramdhan, Naguib Mahfoudz suka ke sini pada malam hari, padahal kalau bulan-bulan biasa ia selalu datang pagi sampai sore, tak lain hanya karena ingin mendengarkan penyanyi Mohammed Abdul Muthalib dan Mohammed Kahlawi menyenandungkan nasyid. Kata Dr. Ziaa.
Pada tahun 1968, entah bagaimana mulanya, pemerintah Mesir memutuskan untuk memangkas sepertiga dari luas kafe el-Fishawy, karena kecewa, pewaris ke enam, Mustafa El-Fishawi, yang merupakan bapak dari Dr. Ziaa, mati tanpa tahu penyebabnya. Yang lebih menarik, kuda kesayangannya tak lama kemudian juga mati. Cerita itu disampaikan Dr. Ziaa dan sudah menjadi cerita rakyat.
El-Fishawy, di masing-masing ruangannya terdapat cermin besar yang didatangkan dari Perancis dan Belgia, adalah Haji Fahmi Ali, pelopor kafe ini yang mendatangkannya dari kerajaan, pada tahun (1805-1848). Cermin-cermin besar itu didatangkan ke el-fishawy, menurut Dr. Ziaa, untuk melihat dirinya sendiri. Yang saya tangkap dari percakapan waktu itu adalah mungkin yang dimaksud Muhasabah Nafsi.
Menurut Akram, adik dari Dr. Ziaa, yang tak lain juga menjadi pewaris generasi ke tujuh dari el-Fishawy ini" Kafe ini berawal dari kebiasaan keluarga el-fishawy menjamu teman-temannya seusai ashar dan menjelang maghrib. Kami adalah kafe yang tidak melupakan akarnya. Hal ini justru membedakan kami dengan yang lain. Al-Fishawy mempresentasikan Mesir dengan kemodernan sekarang," Lanjut Akram al-Fishawy.
Tak ada yang istimewa dari sisi tempat, tata ruang dan modif konstruksinya, di mata Masisir, kependekan dari Masyarakat Indonesia di Mesir, el-Fishawy tak lebih dari sekadar kafe yang berada di tengah pasar di kota Kairo. Apalagi jika melihat el-Fishawy tak menyediakan makanan berat, tapi hanya menyediakan minuman tradisional khas Mesir. Seperti syai bi ni’na (teh dengan mint), helbah (minuman dengan biji-bijian warna kuning), salhab (campuran krem, serut kelapa dan kismis) serta jus lemon. Minuman modern hanya ada Coca-Cola dan Pepsi. Dan, jangan dilupakan, Ahwa mazbut (Kopi Pahit) buatan Abdeel Ma'bud yang biji-bijinya ditanam di daerah Mansourah dan diproduksi di Atabah.
Jika ada sesuatu yang serius yang perlu aku syukuri, barangkali itu karena saya mendapat karunia untuk bisa mengunjungi el-Fishawy. Sebab di sana kutemukan di tiap sudut ruangannya, di tiap atap-atapnya, di tiap pintunya, ditiap serat-serat kursinya, sisa perjuangan revolusi masih berdenyut. Ke el-Fishawy, artinya saya juga menyaksikan sejarah Mesir.
Berikut adalah dokumentasi di el-Fishawy
di Ruang Al-Bashfor
DI Ruang Karya
Bersama Dr. Ziaa, pewaris generasi ke Tujuh
Bersama Amu Abul Khoir, ketua pelaksana lapangan kafe el-Fishawy
di Ruang Sajak
Pernik kafe el-Fishawy
Usman Arrumy, 4 February, 2015. Bawabat, Nasr City, Kairo.